Oleh Mas ud HMN Ketua Pusat Kajian Peradaban Melayu
Jakarta
Curah hujan tinggi datang dari langit. Kota Londonpun tidak terkecuali. Hari
hari akhir Januari 2014 itu Ibu Kota Inggris Raya diserang banjir. Pangeran
Charles datang menemui rakyatnya yang tertimnpa banjir. Pewaris Kerajan Inggris
itu menyatakan bahwa ia tidak membawa bantuan. Tentu dimaklumi bahwa karena ia bukan
Perdana Menteri. Yang mempunyai budget, anggaran dan sarana. Rakyat Inggris
tahu.
Meski tanpa paket bantuan. Pangeran belia ini, hadir pertama kali ketika
rakyat Inggris tertimpa bencana banjir. Masyarakat kota London memberinya
apresiasi tinggi. Seorang di antara kerumunan massa, berucap kami tahu banjir
adalah musibah. Kami tahu anda tidak dapat membantu kami. Yang kami perlukan Anda
hadir di sini saat kami menderita.
Perasaan memang nuansa sontak, menyentakkan. Begitu rasa haru perasaan
warga Inggris ini irrasioanl. Mereka menyalahkan Perdana Menterinya yang sibuk
sepanjang hari. Sehingga alpa terhadap warga negaranya yang sedang ditimpa
bencana. Mereka merasa Pangerannya yang peduli. Perdana Menterinya entah
kemana. Barangkali lupa. Bisa juga memang tidak peduli. Sekali lagi, inilah
perasaan. Bisa jadi irrasioanal.
Rasanya peristiwa ini adalah pelajaran. Ada rasional dan ada juga
irrasional. Yang terakhir ini adalah simbol perasaan mewakili hati. Kita semua harus
dapat menangkap nuansa rational dan nuansa hati tersebut.
Nah sekarang bagaimana di negeri kita. Jajaran elit, mulai Menteri dan
politisi pada sibuk banyak agenda, banyak jadwal diskusi seminar, lokakarya dan
entah apa lagi. Bisakah bersama dengan rakyat. Keperluan rakyat jadi rasa
peduli. Perasaan rakyat jadi keprihatinannya.
Bagi calon pemimpin pada masa tahun politik ini nampaknya relevan. Dimana
kita bediri mendekati dan memihak kepada rakyat. Dunia kita terbentuk dari
dunia rasional otak dan dimensi irrasioanl
hati dan perasaan. Di mana kita berdiri, antara dua sisi dhuaafa dan si kaya.
Terkait dengan ini ada juga bagusnya ada yang sadar. Seperti John Wesley
(1703-1791) menyatakan bahwa mencobakan metode rasional dalam keberagamaan
sebagai senyap, gelap dan terang. Ternyata kata dia, yang terang ada cahaya
hati di dalam kalbu selain rasional dalam otak,
Ada kesejalanan dengan kifrahnya kaum sufi. Karena ini pula yang
dijadikan acuan kaum Sufiis ketika rasio
impreasip tidak berjalan mulus. Padahal, itu yang ditentang kaum rasional dalam dalilnya bahwa yang pertama diturunkan Tuhan terhadap realitas adalah akal.
Soalnya kemudian, di atas itu semua, sekali lagi ada pertanyaan dimana
kita berdiri. Posisi apa yang harus kita jalankan. Kita memahami kebudayaan
yang kita tegakkan memerlukan sentuhan hati. Berbentenglah di hati rakyat dan titilah
kemenangan bersama kaum yang lemah.
Berbenteng di hati rakyat, ini bagaikan sumbu kepemimpinan (X) dalam
menjalani langkah fungsi (Y) kedepan. Melukai atau melupakan rakyat bukan lah
jalan yang benar, Yang benar bersama dengan rakyat.
Bersama rakyat identik bersama dengan kaum lemah atau kaum dhuafa. Berjuang
bersama memberikan yang terbaik untuk mereka. Golongan inilah yang pemimpin
yang salih.
Interpretasi paparan di atas, hubungan sumbu X dan Y, ibarat relasi yang seiring
sejalan. Semakin baik fungsi tinggi kesalihan semakin tinggi pula nilai kepemimpinan.
Sebaliknya semakin rendah kesalihan semakin rendah pula nilai kepemimpinan.
Yang jelas, upaya untuk mengantarkan rakyat berkemajuan merupajan tugas
kita semua. Golongan yang rusak moralnya, tentu tidak mempunyai minat. Karena
mereka hanya memerlukan mencdapai kepentingan sendiri, tidak peduli kepada yang
lain.
Tetapi, bila berbenteng di hati rakyat dan berjuang bersama kaum dhuaafa
adalah patriotic. Itulah jalan untuk kemenangan sejati. Insya Allah l