Selasa, 20 Desember 2011

"Bobroknya Birokrasi itu Memang ada"


Jakarta, Melayu Pos
Kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang sementara tidak memberikan izin operasional terhadap pengelola minimarket ternyata diabaikan begitu saja oleh sebagian pengusaha. Di Jalan Kramat Jaya, Kecamatan Koja, Jakarta Utara misalnya, tepatnya di depan Islamic Center pembangunan sebuah Alfamidi yang telah berdiri gagah juga buka 24 jam. Tetapi anehnya, belum ada tanda-tanda bangunan itu akan ditindak sesuai ketentuan.

Menurut sumber media ini, setiap usaha minimarket selain harus memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan) juga mesti memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dari Sudin Koperasi, UMKM dan Perdagangan, UUG (Undang-Undang Gangguan) dari Satpol PP serta izin lainnya.
Seorang petugas bagian Perizinan di Sudin Koperasi, UMKM dan Perdagangan Jakarta Utara saat dikonfirmasi menegaskan bahwa pihaknya belakangan ini tidak pernah lagi menerbitkan SIUP untuk minimarket. “Jangankan SIUP baru, yang mau memperpanjang SIUP saja tidak kami terima lagi saat ini karena itu merupakan kebijakan gubernur. Jadi kalau ada minimarket yang baru, itu pasti tidak memiliki SIUP,” ujarnya.

Petugas Satpol PP Jakarta Utara juga mengatakan hal yang sama bahwa pihaknya tidak mengeluarkan UUG untuk minimarket. “Belum lama ini juga ada yang mengajukan perpanjangan UUG minimarket tapi kami tidak layani karena itu merupakan perintah gubernur,” katanya.

Menjamurnya usaha minimarket di Jakarta hingga ke pemukiman warga, termasuk di dekat pasar-pasar tradisional, membuat banyak pasar tradisional menjadi mati suri. Sebagian di antaranya bahkan dibangun tanpa IMB karena tidak sesuai peruntukan. “Tanpa IMB kepada pengelola minimarket tidak mungkin diberikan SIUP, UUG, dan sebagainya. Dalam hal ini oknum-oknum P2B memang sering ikut bermain, sehingga pembangunannya tetap berjalan meskipun tanpa IMB,” kata sumber tersebut.

Karena banyaknya minimarket yang beroperasi tanpa IMB dan juga melanggar jarak minimal dengan pasar tradisional, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo membuat kebijakan untuk sementara tidak mengeluarkan izin operasional terhadap minimarket. “Jadi kalau masih ada minimarket yang dibangun, tapi tidak ditindak, sangat mungkin ada oknum yang membekingi. Sudah selayaknya Pemprov DKI Jakarta lebih tegas untuk membongkar bangunan minimarket seperti itu supaya dapat menimbulkan efek jera terhadap yang lainnya,” tandasnya.

Sejumlah pedagang kaki lima yang berjualan di Jalan Kramat Jaya juga mempertanyakan keberadaan Alfamidi tersebut. “Tentu saja kami tidak setuju kalau di sini ada minimarket apalagi jaraknya juga hanya sekitar 200 meter dari pasar. Tapi sampai sekarang belum ada tindakan apa-apa terhadap pengelolanya maupun bangunannya,” kata seorang pedagang yang berjualan tak jauh dari minimarket tersebut.

Pemilik bangunan yang beberapa kali hendak dikonfirmasi tidak ada di tempat. Salah seorang pekerja di tempat itu mengakui bahwa bangunan itu memang untuk Alfamidi. “Tapi soal perizinan saya nggak ngerti karena saya cuma pekerja di sini,” ujarnya.


Di tempat terpisah, Minimarket yang izin operasinya masih berlaku tidak boleh dicabut atau diberhentikan. Namun demikian, permasalahan serius yang sering terjadi atas kehadiran minimarket perlu diantisipasi. Selama ini, minimarket seakan-akan UKM,  padahal sesungguhnya hyper yang bisa menjadi ribuan outlet. Tidak heran kalau di DKI Jakarta banyak minimarket yang berada di samping pasar tradisional malahan berdampingan. Akibatnya, harga jual menjadi sangat bersaing.

Itu karena pembelian produknya secara kuantitas langsung ke pabriknya atau supplier, sehingga mendapatkan diskon, potongan, bonus dan sebagainya.
Demikian dikatakan anggota DPR RI Komisi IV, H. Nasril Bahar, SE menjawab pertanyaan Melayu Pos di ruang kerjanya, Senin (12/12).

Menurutnya, karena semakin banyak pedagang kaki lima (PKL) maupun pengusaha kecil lainnya yang berdekatan dengan minirmarket, sudah seyogianya Pemprov DKI Jakarta bersikap arif dalam mengeluarkan izin sementara.

Hal itu karena keberadaan usaha kecil menengah, terutama minimarket dan hypermarket, memiliki rambu-rambu yang dikeluarkan Menteri Perdagangan. Sedangkan izin operasionalnya dari Pemda setempat.

“Selama ini kita bisa lihat bahwa Pemda DKI belum pernah membuat aturan yang berpihak kepada pedagang kecil, khususnya berjualan di pasar tradisional. Berdasarkan UU No. 32 tentang Otonomi Daerah, yang berhak mengeluarkan izin operasional adalah Pemda. Tapi saya tidak tahu mendetail ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Perda. Produk kita di sini hanya Undang-undang, tetapi mengenai Keppres kita ikut mengawasinya,” kata Nasril.

“Di sinilah lemahnya sistem pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah, kementerian, dan pemerintah pusat. Izin dikeluarkan oleh Dinas Perdagangan, bukan kementerian. Jadi yang harus dikritisi di sini Pemda yang doyan memberikan izin yang sesungguhnya tidak bisa membuat kondusifnya persaingan itu,” ujarnya.

Di dalam Keppres sudah diatur mengenai zona dan waktu kegiatan, tetapi Keppres banyak dilanggar oleh para bupati atau walikota. Kenapa? Antara pasar tradisional, minimarket, mall, itu sudah ada aturannya misalnya tentang jarak yang minimal lima ratus meter.

“Hypermarket harus berada di pinggiran kota, tetapi kenyataannya apa? Izinnya itu datang dari mana? Rambu-rambu lalu lintas dari Kementerian Perdagangan, tetapi  Kementerian Perdagangan tidak bisa menindak bupati atau walikota. Seperti seven eleven coba tanyakan izinnya dari mana?  Saya dengar itu dari Dinas Pariwisata, yang mengeluarkan izin restoran siap saji. Jadi yang perlu disoroti DPRD Provinsi.
Hanya Pemda yang berhak mencabut izinnya. Soalnya apabila hypermarket menjelma menjadi minimarket bisa ribuan outlet lho. Kan jelmaannya ini yang repot. Juga sudah diatur jarak  minimum 500 meter.

“Yang kita lihat selama ini, tidak ada kebijakan Pemda yang berpihak kepada pedagang kecil, tetapi cenderung membela pengusaha-pengusaha besar. Soal perizinan, semuanya Pemda yang menangani. Tidak ada yang bisa menghalangi itu. Karena itu, kalau ada Perda, maka Perda lain yang bisa menghalanginya, kecuali jelmaan hypermarket menjadi minimarket. Nah itu yang perlu distop,” tegasnya.

Ketika ditanyakan apakah ada deal-deal tertentu di dalam masalah ini, Nasril dengan tegas menjawab tidak  tahu. “Kita susah membuktikan persoalan bobroknya birokrasi. Seperti cost yang harus dibayar pengusaha ketika mengurus perizinan sesuai Perda atau lain sebagainya,” tandas Nasril.

Di tempat terpisah, Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta, Slamet Nurdin mengatakan, Komisi B sudah menyerahkan kepada Pansus (panitia khusus) minimarket. Ketika ditanyakan apa hasil keputusan dari Pansus minimarket, Slamet mengatakan tanyakan saja kepada H. Lulung, sebagai Ketua Pansus minimarket. “kalau saya sendiri gimana ya, saya ga enak sama teman-teman yang lain. Saya belum tahu hasilnya, yang lain aja deh tanyain. Kalau soal itu jangan deh,” katanya, Jumat (25/11).

H. Lulung ketika hendak dikonfirmasi tidak ada di tempat, karena sedang keluar kota. Ketua Komisi A yang juga Wakil Ketua Pansus minimarket, Ida Mahmudah, ketika dikonfirmasi mengatakan Pansusnya sudah dibubarkan dan hasilnya sudah dilaporkan kepada Ketua Dewan. Mengapa Ketua Komisi B yang sudah seharusnya terlibat dalam masalah ini tidak tahu hasil dari Pansus minimarket? Atau memang ada deal-deal tertentu antara DPRD dengan para pengusaha demi kepentingan pribadi?  


Hal tersebut juga pernah diungkapkan oleh pengamat kebijakan publik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syafuan Rozi, yang mengatakan bahwa gempuran kehadiran minimarket di Jakarta telah menyebabkan usaha pasar tradisional kalah bersaing, Bahkan beberapa pasar tradisional sepi pengunjung dan bahkan ada yang tutup.

Pasalnya, kehadiran minimarket yang umumnya adalah usaha waralaba atau francise itu, tidak lagi memperhatikan jarak dengan pasar tradisional seperti diatur Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta.

“Kehadiran minimarket telah menyebabkan persaingan yang tidak sehat, karena barang yang mereka jual sama dengan yang dijual di pasar tradisional. Diperlukan penataan ulang, terutama menyangkut jarak dengan pasar tradisional,” jelas Syafuan.

Namun Syafuan mengingatkan, penataan ulang hendaknya dilakukan dengan niat tidak untuk mematikan kesempatan berusaha bagi pengusaha minimarket.

“Yang melanggar aturan jarak atau tidak memiliki izin harus diarahkan agar mengalihkan jenis usahanya. Minimarket ini kan biasanya usaha dengan membeli waralaba. Jadi harus dicarikan juga jalan keluar bagi mereka,” ujarnya.

Padahal menurut Perda No 2 tahun 2002 tersebut, yang katanya akan direvisi tahun ini, disebutkan bahwa mini swalayan maksimal memiliki luas 4.000 meter persegi. Usaha perpasaran swasta yang luas lantainya 100 - 200 meter persegi harus berjarak 0,5 km dari pasar lingkungan dan terletak di sisi jalan lingkungan/kolektor/arteri. Selain itu, waktu penyelenggaraan usaha perpasaran swasta dimulai pukul 09.00 hingga pukul 22.00.

Di dalam perda itu juga sudah diatur mengenai pihak yang memiliki kewenangan untuk memberikan izin untuk minimarket. Jika minimarket memiliki luas sampai 200 meter, perizinannya akan dikeluarkan oleh Walikota yang bersangkutan. Jika luasnya mencapai 2 ribu meter, perizinannya berada di tangan Wakil Gubernur. Sedangkan  jika luasnya lebih dari 2 ribu meter, maka perizinannya oleh Gubernur.

Sebelumnya verifikasi data minimarket yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta menemukan sebanyak 2.095 minimarket dari 2.162, melanggar perizinan. Hanya 67 minimarket saja yang memiliki izin lengkap sesuai Perda Nomor 2 Tahun 2002 dan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 115 Tahun 2006 tentang Penundaan Perizinan Usaha Minimarket.  Dari 2.095 minimarket itu, sebanyak 712 sama sekali tidak memiliki izin alias liar. Dari 712 itu sebanyak 131 minimarket melanggar Perda Nomor 2 Tahun 2002, karena memiliki jarak kurang dari 500 meter dari pasar tradisional.

Tetapi kenyatannya revisi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta justru menghilangkan beberapa pasal penting. Salah satunya adalah Pasal 10 tentang luas dan jarak tempat penyelenggaraan usaha.Pasal yang dihapus justru membahas secara rinci mengenai zonasi pasar swasta. Zonasi masih sangat diperlukan untuk melindungi keberadaan pasar tradisional. Ketiadaan regulasi yang mengatur masalah zonasi pasar swasta akan membuat pasar tradisional semakin terpuruk.
Dalam revisi Perda ini, Pasal 12 yang fokus pada masalah kewajiban pasar swasta, antara lain kemitraan dengan usaha kecil dan koperasi, pelarangan judi, dan pencantuman label halal bagi barang-barang yang diperdagangkan, justru dihapuskan.

Pasal 13 dan Pasal 14 juga ikut dihapuskan dalam revisi Perda ini. Dua pasal itu membicarakan masalah kewajiban pasar swasta untuk menyediakan ruang bagi usaha kecil atau padagang kaki lima seluas 10 persen hingga 20 persen dari luas bangunan, dan tidak dapat diganti dalam bentuk lain.

Padahal usaha pendamping seperti ini sangat membantu, dan penting bagi rakyat kecil dalam mendorong kemajuan usahanya.

Memang keberadaan pusat perbelanjaan dan pasar swalayan secara perlahan tapi pertumbuhannya sangat pesat dapat mematikan pasar dan pedagang tradisional. Keberadaan pasar modern juga menimbulkan persoalan kemacetan akibat lokasi yang tidak tepat. Tidak hanya itu, daya dukung lahan juga menjadi masalah karena keberadaannya mengurangi areal terbuka hijau dan pengambilan air tanah secara besar-besaran. Las

1 komentar:

  1. Kami RAJA RAK INDONESIA menyediakan berbagai macam RAK, seperti RAK MINIMARKET, RAK TOKO, RAK SUPERMARKET dan RAK GUDANG. Website kami di : http://www.rajarakminimarket.com dan http://www.rajaraksupermarket.com, Telp: 021-87786434

    BalasHapus