Jakarta,
Melayu Pos
Kebijakan
Pemprov DKI Jakarta yang sementara tidak memberikan izin operasional terhadap
pengelola minimarket ternyata diabaikan begitu saja oleh sebagian pengusaha. Di
Jalan Kramat Jaya, Kecamatan Koja, Jakarta Utara misalnya, tepatnya di depan
Islamic Center pembangunan sebuah Alfamidi yang telah berdiri gagah juga buka
24 jam. Tetapi anehnya, belum ada tanda-tanda bangunan itu akan ditindak sesuai
ketentuan.
Menurut
sumber media ini, setiap usaha minimarket selain harus memiliki IMB (Izin
Mendirikan Bangunan) juga mesti memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan)
dari Sudin Koperasi, UMKM dan Perdagangan, UUG (Undang-Undang Gangguan) dari
Satpol PP serta izin lainnya.
Seorang petugas bagian Perizinan di Sudin Koperasi, UMKM dan Perdagangan Jakarta Utara saat dikonfirmasi menegaskan bahwa pihaknya belakangan ini tidak pernah lagi menerbitkan SIUP untuk minimarket. “Jangankan SIUP baru, yang mau memperpanjang SIUP saja tidak kami terima lagi saat ini karena itu merupakan kebijakan gubernur. Jadi kalau ada minimarket yang baru, itu pasti tidak memiliki SIUP,” ujarnya.
Seorang petugas bagian Perizinan di Sudin Koperasi, UMKM dan Perdagangan Jakarta Utara saat dikonfirmasi menegaskan bahwa pihaknya belakangan ini tidak pernah lagi menerbitkan SIUP untuk minimarket. “Jangankan SIUP baru, yang mau memperpanjang SIUP saja tidak kami terima lagi saat ini karena itu merupakan kebijakan gubernur. Jadi kalau ada minimarket yang baru, itu pasti tidak memiliki SIUP,” ujarnya.
Petugas Satpol PP Jakarta Utara juga mengatakan hal yang sama bahwa pihaknya tidak mengeluarkan UUG untuk minimarket. “Belum lama ini juga ada yang mengajukan perpanjangan UUG minimarket tapi kami tidak layani karena itu merupakan perintah gubernur,” katanya.
Menjamurnya
usaha minimarket di Jakarta hingga ke pemukiman warga, termasuk di dekat
pasar-pasar tradisional, membuat banyak pasar tradisional menjadi mati suri.
Sebagian di antaranya bahkan dibangun tanpa IMB karena tidak sesuai peruntukan.
“Tanpa IMB kepada pengelola minimarket tidak mungkin diberikan SIUP, UUG, dan
sebagainya. Dalam hal ini oknum-oknum P2B memang sering ikut bermain, sehingga
pembangunannya tetap berjalan meskipun tanpa IMB,” kata sumber tersebut.
Karena
banyaknya minimarket yang beroperasi tanpa IMB dan juga melanggar jarak minimal
dengan pasar tradisional, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo membuat kebijakan
untuk sementara tidak mengeluarkan izin operasional terhadap minimarket. “Jadi
kalau masih ada minimarket yang dibangun, tapi tidak ditindak, sangat mungkin
ada oknum yang membekingi. Sudah selayaknya Pemprov DKI Jakarta lebih tegas
untuk membongkar bangunan minimarket seperti itu supaya dapat menimbulkan efek
jera terhadap yang lainnya,” tandasnya.
Sejumlah
pedagang kaki lima yang berjualan di Jalan Kramat Jaya juga mempertanyakan
keberadaan Alfamidi tersebut. “Tentu saja kami tidak setuju kalau di sini
ada minimarket apalagi jaraknya juga hanya sekitar 200 meter dari pasar. Tapi
sampai sekarang belum ada tindakan apa-apa terhadap pengelolanya maupun
bangunannya,” kata seorang pedagang yang berjualan tak jauh dari minimarket tersebut.
Pemilik
bangunan yang beberapa kali hendak dikonfirmasi tidak ada di tempat. Salah
seorang pekerja di tempat itu mengakui bahwa bangunan itu memang untuk
Alfamidi. “Tapi soal perizinan saya nggak ngerti karena saya cuma pekerja di
sini,” ujarnya.
Di
tempat terpisah, Minimarket yang izin operasinya masih berlaku tidak boleh
dicabut atau diberhentikan. Namun demikian, permasalahan serius yang sering
terjadi atas kehadiran minimarket perlu diantisipasi. Selama ini, minimarket
seakan-akan UKM, padahal sesungguhnya hyper yang bisa menjadi ribuan
outlet. Tidak heran kalau di DKI Jakarta banyak minimarket yang berada di
samping pasar tradisional malahan berdampingan. Akibatnya, harga jual menjadi
sangat bersaing.
Itu
karena pembelian produknya secara kuantitas langsung ke pabriknya atau
supplier, sehingga mendapatkan diskon, potongan, bonus dan sebagainya.
Demikian
dikatakan anggota DPR RI Komisi IV, H. Nasril Bahar, SE menjawab pertanyaan Melayu
Pos di ruang kerjanya, Senin (12/12).
Menurutnya,
karena semakin banyak pedagang kaki lima (PKL) maupun pengusaha kecil lainnya
yang berdekatan dengan minirmarket, sudah seyogianya Pemprov DKI Jakarta
bersikap arif dalam mengeluarkan izin sementara.
Hal
itu karena keberadaan usaha kecil menengah, terutama minimarket dan
hypermarket, memiliki rambu-rambu yang dikeluarkan Menteri Perdagangan.
Sedangkan izin operasionalnya dari Pemda setempat.
“Selama
ini kita bisa lihat bahwa Pemda DKI belum pernah membuat aturan yang berpihak
kepada pedagang kecil, khususnya berjualan di pasar tradisional. Berdasarkan UU
No. 32 tentang Otonomi Daerah, yang berhak mengeluarkan izin operasional adalah
Pemda. Tapi saya tidak tahu mendetail ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam
Perda. Produk kita di sini hanya Undang-undang, tetapi mengenai Keppres kita
ikut mengawasinya,” kata Nasril.
“Di
sinilah lemahnya sistem pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah,
kementerian, dan pemerintah pusat. Izin dikeluarkan oleh Dinas Perdagangan,
bukan kementerian. Jadi yang harus dikritisi di sini Pemda yang doyan
memberikan izin yang sesungguhnya tidak bisa membuat kondusifnya
persaingan itu,” ujarnya.
Di
dalam Keppres sudah diatur mengenai zona dan waktu kegiatan, tetapi Keppres
banyak dilanggar oleh para bupati atau walikota. Kenapa? Antara pasar
tradisional, minimarket, mall, itu sudah ada aturannya misalnya tentang jarak
yang minimal lima ratus meter.
“Hypermarket
harus berada di pinggiran kota, tetapi kenyataannya apa? Izinnya itu datang
dari mana? Rambu-rambu lalu lintas dari Kementerian Perdagangan,
tetapi Kementerian Perdagangan tidak bisa menindak bupati atau
walikota. Seperti seven eleven coba tanyakan izinnya dari mana? Saya
dengar itu dari Dinas Pariwisata, yang mengeluarkan izin restoran siap saji.
Jadi yang perlu disoroti DPRD Provinsi.
Hanya
Pemda yang berhak mencabut izinnya. Soalnya apabila hypermarket menjelma
menjadi minimarket bisa ribuan outlet lho. Kan jelmaannya ini yang repot. Juga
sudah diatur jarak minimum 500 meter.
“Yang
kita lihat selama ini, tidak ada kebijakan Pemda yang berpihak kepada pedagang
kecil, tetapi cenderung membela pengusaha-pengusaha besar. Soal perizinan,
semuanya Pemda yang menangani. Tidak ada yang bisa menghalangi itu. Karena itu,
kalau ada Perda, maka Perda lain yang bisa menghalanginya, kecuali jelmaan
hypermarket menjadi minimarket. Nah itu yang perlu distop,” tegasnya.
Ketika
ditanyakan apakah ada deal-deal tertentu di dalam masalah ini, Nasril dengan
tegas menjawab tidak tahu. “Kita susah membuktikan persoalan bobroknya
birokrasi. Seperti cost yang harus dibayar pengusaha ketika
mengurus perizinan sesuai Perda atau lain sebagainya,” tandas Nasril.
Di
tempat terpisah, Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta, Slamet Nurdin mengatakan,
Komisi B sudah menyerahkan kepada Pansus (panitia khusus) minimarket. Ketika
ditanyakan apa hasil keputusan dari Pansus minimarket, Slamet mengatakan
tanyakan saja kepada H. Lulung, sebagai Ketua Pansus minimarket. “kalau saya
sendiri gimana ya, saya ga enak sama teman-teman yang lain. Saya belum tahu
hasilnya, yang lain aja deh tanyain. Kalau soal itu jangan deh,” katanya, Jumat
(25/11).
H.
Lulung ketika hendak dikonfirmasi tidak ada di tempat, karena sedang keluar
kota. Ketua Komisi A yang juga Wakil Ketua Pansus minimarket, Ida
Mahmudah, ketika dikonfirmasi mengatakan Pansusnya sudah dibubarkan dan
hasilnya sudah dilaporkan kepada Ketua Dewan. Mengapa Ketua Komisi B yang sudah
seharusnya terlibat dalam masalah ini tidak tahu hasil dari Pansus minimarket?
Atau memang ada deal-deal tertentu antara DPRD dengan para pengusaha demi
kepentingan pribadi?
Hal
tersebut juga pernah diungkapkan oleh pengamat kebijakan publik dari Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syafuan Rozi, yang mengatakan bahwa gempuran
kehadiran minimarket di Jakarta telah menyebabkan usaha pasar tradisional kalah
bersaing, Bahkan beberapa pasar tradisional sepi pengunjung dan bahkan ada yang
tutup.
Pasalnya,
kehadiran minimarket yang umumnya adalah usaha waralaba atau francise itu,
tidak lagi memperhatikan jarak dengan pasar tradisional seperti diatur Perda
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta.
“Kehadiran
minimarket telah menyebabkan persaingan yang tidak sehat, karena barang yang
mereka jual sama dengan yang dijual di pasar tradisional. Diperlukan penataan
ulang, terutama menyangkut jarak dengan pasar tradisional,” jelas Syafuan.
Namun
Syafuan mengingatkan, penataan ulang hendaknya dilakukan dengan niat tidak
untuk mematikan kesempatan berusaha bagi pengusaha minimarket.
“Yang
melanggar aturan jarak atau tidak memiliki izin harus diarahkan agar
mengalihkan jenis usahanya. Minimarket ini kan biasanya usaha dengan membeli
waralaba. Jadi harus dicarikan juga jalan keluar bagi mereka,” ujarnya.
Padahal
menurut Perda No 2 tahun 2002 tersebut, yang katanya akan direvisi tahun ini,
disebutkan bahwa mini swalayan maksimal memiliki luas 4.000 meter persegi.
Usaha perpasaran swasta yang luas lantainya 100 - 200 meter persegi harus
berjarak 0,5 km dari pasar lingkungan dan terletak di sisi jalan
lingkungan/kolektor/arteri. Selain itu, waktu penyelenggaraan usaha perpasaran
swasta dimulai pukul 09.00 hingga pukul 22.00.
Di
dalam perda itu juga sudah diatur mengenai pihak yang memiliki kewenangan untuk
memberikan izin untuk minimarket. Jika minimarket memiliki luas sampai 200
meter, perizinannya akan dikeluarkan oleh Walikota yang bersangkutan. Jika
luasnya mencapai 2 ribu meter, perizinannya berada di tangan Wakil Gubernur.
Sedangkan jika luasnya lebih dari 2 ribu meter, maka perizinannya oleh
Gubernur.
Sebelumnya
verifikasi data minimarket yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta menemukan
sebanyak 2.095 minimarket dari 2.162, melanggar perizinan. Hanya 67 minimarket
saja yang memiliki izin lengkap sesuai Perda Nomor 2 Tahun 2002 dan Instruksi
Gubernur (Ingub) Nomor 115 Tahun 2006 tentang Penundaan Perizinan Usaha
Minimarket. Dari 2.095 minimarket itu, sebanyak 712 sama sekali tidak
memiliki izin alias liar. Dari 712 itu sebanyak 131 minimarket melanggar Perda
Nomor 2 Tahun 2002, karena memiliki jarak kurang dari 500 meter dari pasar
tradisional.
Tetapi
kenyatannya revisi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran
Swasta justru menghilangkan beberapa pasal penting. Salah satunya adalah Pasal
10 tentang luas dan jarak tempat penyelenggaraan usaha.Pasal yang dihapus justru
membahas secara rinci mengenai zonasi pasar swasta. Zonasi masih sangat
diperlukan untuk melindungi keberadaan pasar tradisional. Ketiadaan regulasi
yang mengatur masalah zonasi pasar swasta akan membuat pasar tradisional
semakin terpuruk.
Dalam
revisi Perda ini, Pasal 12 yang fokus pada masalah kewajiban pasar swasta,
antara lain kemitraan dengan usaha kecil dan koperasi, pelarangan judi, dan
pencantuman label halal bagi barang-barang yang diperdagangkan, justru
dihapuskan.
Pasal
13 dan Pasal 14 juga ikut dihapuskan dalam revisi Perda ini. Dua pasal itu
membicarakan masalah kewajiban pasar swasta untuk menyediakan ruang bagi usaha
kecil atau padagang kaki lima seluas 10 persen hingga 20 persen dari luas
bangunan, dan tidak dapat diganti dalam bentuk lain.
Padahal usaha
pendamping seperti ini sangat membantu, dan penting bagi rakyat kecil dalam
mendorong kemajuan usahanya.
Memang keberadaan pusat perbelanjaan dan pasar swalayan secara perlahan tapi
pertumbuhannya sangat pesat dapat mematikan pasar dan pedagang tradisional.
Keberadaan pasar modern juga menimbulkan persoalan kemacetan akibat lokasi yang
tidak tepat. Tidak hanya itu, daya dukung lahan juga menjadi masalah karena
keberadaannya mengurangi areal terbuka hijau dan pengambilan air tanah secara
besar-besaran. Las
Kami RAJA RAK INDONESIA menyediakan berbagai macam RAK, seperti RAK MINIMARKET, RAK TOKO, RAK SUPERMARKET dan RAK GUDANG. Website kami di : http://www.rajarakminimarket.com dan http://www.rajaraksupermarket.com, Telp: 021-87786434
BalasHapus