Bengkalis, Melayu Pos
Permasalahan sengketa agraria merupakan masalah sosial yang bersifat struktural. Hal ini disebabkan oleh masalah sengketa agraria mulai dari sengketa kepemilikan tanah, peruntukan, penggunaan, hingga pengelolaan dan pengembangan tanah dan unsur-unsur yang terkandung dalam tanah. Tanah merupakan sumber utama dalam pengembangan bidang agraria.
Tanah juga merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia, mulai dari sejak manusia terlahir hingga manusia tersebut menghembuskan nafas terakhir manusia tetap membutuhkan tanah. Oleh karena itu tanah dalam kehidupan manusia menjadi sangat esensial.
Dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepentingan manusia terhadap tanah turut berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan masyarakat manusia yang dinamis dan terus berkembang turut mempengaruhi hubungan manusia terhadap tanah. Pembangunan sebagai wujud dari keinginan bersama masyarakat yang merupakan terobosan-terobosan dalam rangka mencapai cita-cita perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia untuk mecerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi sangat berperan penting. Hal ini bukan saja mencakup kepentingan akan tanah sebagai wadah terlaksananya kegiatan pembangunan yang bersifat fisk saja, melainkan juga mencakup pengaturan pengelolaan, pengembangan, peruntukan dan peggunaan tanah sebagai sumber untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Permasalahan pengelolaan tanah juga tidak bisa kita pisahkan dengan pelestarian lingkungan. Kepentingan akan tanah baik secara individu maupun kolektif atas nama pembangunan dalam kehidupan masyarakat bukanlah sebuah legitimasi bagi kita untuk melakukan eksploitasi terhadap tanah dengan tidak mempertimbangkan aspek pelestarian lingkungan. Kepentingan pembangunan mesti didesign sedemikian rupa untuk tetap sejalan menjaga kelestarian ekosistem kita, hal ini bertujuan untuk tetap menjaga potensi pengembangan wilayah dimasa yang akan datang.
Dewasa ini permasalahan pengelolaan dan pengaturan tata guna tanah selalu muncul ke permukaan. Permasalahan ini dapat kita klasifikasikan menjadi beberapa permasalahan, diantaranya sebagai berikut. Pertama, permasalahan antara masyarakat dengan Negara dan atau pelaku usaha, hal ini disebabkan oleh kebijakan pemberian izin yang diambil oleh Negara dalam hal ini pemerintah selaku penyelenggara Negara yang menjadi sumber munculnya masalah. Permasalahan ini mulai dari sengketa kepemilikan tanah, pencemaran lingkungan, hingga pengembangan wlayah dan masyarakat disekitar wilayah perizinan. Kedua, permasalahan antar warga Negara, hal ini selain disebabkan semakin tingginya kebutuhan manusia akan tanah yang tidak dibarengi dengan reformasi dalam bidang agararia guna menjamin terwujudnya keadilan agraria dan keadila sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara juga disebabkan oleh lemahnya peran pemerintah dalam menginventarisasi status kepemilikan tanah oleh masyarakat sehingga muncul permasalahan tumpang tindih alas hak kepemilikan tanah. Namun dari klasifikasi permasalahan tersebut diatas yang menjadi permasalahan yang selalu muncul ke permukaan dan tak kunjung selesai adalah permasalahan yang pertama. Permasalahan ini muncul baik pada perizinan industri kehutanan maupun pada industri palm oil serta perkebunan berskala besar lainnya. Hal ini membuktikan bahwa adanya kekeliruan pada perizinan yang diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha selaku pemegang izin. Kekeliruan tersebut bisa bersumber pada proses pemberian izin atau ketaatan dalam melaksanaka hak dan kewajiban yang tertuang dalam kebijaksanaan tersebut. Penyelesaian permasalahan yang bersumber pada kebijakan mestilah diselesaikan dengan kembali menelaah akar persoalan dalam hal ini izin yang diberikan baik itu proses terbitnya izin tersebut hingga ketentuan-ketentuan yang termaktub pada izin tersebut, baik kepada pemerintah selaku pemberi izin maupun pelaku usaha selaku pemegang izin maupun masyarakat sebagai bagian yang integral dengan wilayah kedaulatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kamis 17 November 2011 merupakan hari yang bersejarah bagi masyarakat Pulau Rupat, Kec. Rupat Kabupaten Bengkalis. Amuk masyarakat yang tak terbendung telah melahirkan pertikaian anatara masyarakat dengan PT. Sumatera Riang Lestari. Perusahaan yang merupakan anak perusahaan PT. Riau Pulp tersebut merupakan perusahaan yang mengantongi izin dari pemerintah. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) yang diakntongi oleh PT. SRL adalah izin yang diberikan oleh pemerintah untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan pada wiayah tersebut. Perizinan tersebut merupakan representasi dari pertimbangan secara konfrehensif dan pertimbangan banyak pihak, baik itu pemerintah daerah maupun pemerintah pusat sejalan dengan semangat desentralisasi. Permasalahan yang dapat kita klasifikasikan pada permasalahan struktural tersebut mesti mendapat perhatian serius oleh pemerintah. Hal ini disebabkan apabila permasalahan ini tidak diselesaikan secara konfrehensif dengan kebijakan maka permasalahan ini akan menjadi permasalahan yang berlarut-larut. Hal ini bukan hanya merugikan pelaku usaha saja sebagaimana yang terjadi pada tragedi 17 November melainkan akan berakibat pada pergeseran nilai-nilai kehidupan masyarakat. Gesekan-gesekan sosial yang terus terjadi ketika permsalahan ini meruncing semakin lama akan semakin besar dan menimbulkan masalah sosial. Tingkat kriminilatas yang meningkat, iklim investasi yang tidak kondusif serta masalah-masalah kerusakan lingkungan. Hal ini sangat bertentangan dengan amanat konstitusi yang tertuang dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang mengamanatkan kepada penyelenggara kehutanan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan mengoptimalkan aneka fungs hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari. Pengurusan Negara terhadap hutan dalam UU No.41/1999 dijelaskan pada Pasal 10 ayat 2 yang menjelaskan bahwa pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan perencanaan kehutanan, pengelolaan kehutanan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan. Pada Pasal 11 ayat (2) dijelaskan perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Berbagai mediasi telah dilakukan, mulai dari tingkat kecamatan dengan segenap unsur UPIKA dan melibatkan tokoh masyarakat, perusahaan dan perwakilan masyarakat dari masing-masing desa hingga mediasi di DPRD Provinsi Riau dalam rangka menengahi permasalahan tersebut. Ada beberapa kesepakatan yang dilahirkan dari mediasi yang pernah dilakukan, namun mediasi tersebut tidak membuahkan hasil di lapangan. Perusahaan yang dinilai masyarakat tidak mengindahkan kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dalam setiap mediasi yang dilakukan membuat amuk masyarakat tak terbendung lagi sehingga menimbulkan bentrokan fisik antara perusahaan dengan masyarakat yang semestinya tidak terjadi. Konflik ini jika terus dibiarkan akan terus menjadi masalah sosial ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat yang awam hukum tak mampu menangani permasalaha ini sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan tindakan-tindakan yang sepihak. Selain mengorbankan perusahaan atas asset yang menjadi sasaran amuk warga, masyarakat juga dirugikan karena harus berurusan dengan aparat penegak hukum atas tindakan-tindakan yang dianggap melawan hukum. Permasalahan ini mesti menjadi perhatian serius guna mencari jalan penyelesaian yang konfrehensif dan tidak bersifat parsial. Keresahan warga akan keselamatan ekosistem di Pulau Rupat juga patut kita jadikan pertimbangan dalam menelaah permasalahan ini.
Sejalan dengan itu, dalam era otonomi daerah ini denga semangat desentralisasi sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 32/2004 maka sangat layak DPRD sebagai instutusi politik yang mewakili segenap kepentingan rakyat turut berperan baik dalam melakukan identifikasi, inventarisasi serta rekonstruksi atas permasalahan yang timbul saat ini. Telaah terhadap rekomendasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah serta izin yang dikeluarkan oleh lembaga Negara terkait dalam hal ini Kementerian Kehutanan juga mesti dilakukan, hal ini apakah untuk melihat apakah ada kekeliruan yang harus diluruskan atau merumuskan penyelesaian masalah sesuai dengan kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) UU Kehutanan, “pemerintah, pemerintah daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan.” Atas dasar inilah dalam menyikapi tragedi 17 November di Pulau Rupat maka kami menyatakan untuk menggunakan hak angket dengan membentuk Panitia Khusus HTI DPRD Kabupaten Bengkalis. Hal ini dalam rangka penyerapan aspirasi daerah dalam menyikapi permsalahan yang muncul akibat perizinan tersebut tegas Misliadi, S. HI Ketua DPC PKB Kab. Bengkalis tersebut dalam wawancara dengan melayupos.
Pemuda asal Rupat yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Gabungan Lancang Kuning DPRD Kab. Bengkalis tersebut juga mengingatkan kepada pihak kepolisian untuk tidak terlalu represif terhadap masyarakat mengingat selama ini perusahaan juga telah melakukan banyak pelanggaran agar kita tetap menjunjung azas praduga tidak bersalah sebagai hak dari setiap warga negara, tukas Misliadi terkait penangkapan dan penahanan sejumlah warga akibat insiden tersebut. Terkait Hak Angket Anggota DPRD Kab. Bengkalis untuk membentuk Panitia Khusu Hutan Tanaman Industri dan Perkebunan kami atas nama fraksi sangat mendukung bahkan siap menjadi inisiator pembentukan PANSUS tersebut untuk diusulkan kepada Badan Musyawarah (BAMUS) DPRD Kab. Bengkalis agar masalah ini segera dibahas dan ditindaklanjuti tutur Misliadi mengakhiri pembicaraan. Ilm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar