Oleh Mas ud HMN Ketua
Pusat Kajian Peradaban Melayu Jakarta.
Sirahul zaman, adalah phrase dari bahasa Arab dari kata sirahul dan zaman. Sirahul
artinya cahaya, sinar. Kata zaman artinya, masa, periode, era. Dengan demikian,
sirahul zaman maknnya adalah cahaya zaman, cahaya dari masa tertentu, periode
atau era.
Kata sirahul sebenarnya sepadan
dengan kata nur, dan misbahun sama berati cahaya, sinar. Kata nur, misalnya nurun
alannur cahaya di atas cahaya. Nurunl samawaati, cahaya dari langit. Lalu kata
misbahun, juga berarti cahaya. Kalau dipasangkan dengan kata asujja, menjadi misbahun azzujaj, sinar
terang berkelanjutan. Berbeda dengan lampu
tang bisa padam.
Semntara itu kata zaman bisa berpasangan
dengan akhirul zaman, zaman muthaakhir. Lalu kata zaman bisa juga berpasangan
dengan rijahul zaman. Cahaya dari masa atau zaman tertentu. Dengan kata lain kata
zaman adalah kata yang berdiemnsi waktu atau masa. Bahkan orang juga kadang-kadang melekatkan kata zaman itu kepada kata
sejarah. Sehingga pengertian sirahul zaman, adalah sejarah yang penuh
kegemilangan. Sejarah yang disinari oleh cahaya keberhasilan. Bukan sejarah
yang kelabu, sejarah yang mandek atau bukan sejarah yang kelam. Singkat kata,
periode yang bertaburkan sinar
pencerahan.
Pada hakikatnya sejarah itu selalu berubah, zaman itu beredar di antara manusia.
Ada masa lahir, dewasa dan tua (aging). Sejarah itu pun meniscyakan adanya berawal,
berkembang maju dan runtuh. Pada moment sejarah tumbuh dan berkembang di situlah kegemilangan dan sukses. Tetapi pada masa
runtuh di situ lah masa tiba gelap dan kelam.
Amat menarik apa yang dikatakan Hamka yang menyatakan dalam pidato yang cukup
penting. Yaitu pidato pada penutupan Munas Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama
1975, saat dipilihnya dia sebagai Ketua Umum MUI. Ia mengungkap kata Sirahul
Zamaniyah dalam hubungan sejarah umat Islam. Ia mengkaitkan konteks itu dengan
apa yang ia sebut zaman cahaya dari selatan.
Kata Hamka, Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan nur atau cahaya yang ditegakkan
dari Mekkah. Dari kota suci Mekkah dipancarkan cahaya ke bagian Yaman
(Selatan). Cahaya itu sampai ke Irak (Utara) bahkan lebih jauh lagi. Namun
kemudian cahaya itu berangsur pudar
cahayanya, laksana pelita yang kehabisan minyak
Demikian Hamka (Panji Masyrakat
edisi 181 tgl 25 Juli 1975).
Jika moment sejarah sekarang ini sebagai analog dengan apa yang
dikatakan Hamka,--- era yang mulai pudar cahaya yang meneranginya---, tentu
saja menyentakkan pikiran kita. Artinya kita harus sadar bahwa sesungguhnya suasana
itu bukanlah sesuatu yang tiba-tiba berdiri sendiri. Yang sewajarnya menjadi kerpihatinan
kita bersama.
Ada kisah klasik sebagai dapat dijadikan tamsil.
Sejarah keledai tuannya yang membawa beban berat dipunggunnya. Di tengah padang
pasir yang luas sang keledai kehausan. Padahal dipunggungnya tersedia air minum
cadangan untuk persediaan di perjalanan.
Manusia kecil yang dinyatakan Schiler, tentu saja
dalam makna laterlik, melainkan dalam makna cerita keledai dan tuannya. Ia
tidak menemukan solusi dari kesulitan yang menimpannya. Mereka hanya pasrah
kepada ketentuan nasib, yang kebetulan nasib tidak menguntungkannya.
Bahkan manusia kecil, adalah manusia yang
mengabikan kebenaran dan keadulan. Manusia kecil adalah manuisa yang begelimang
dosa, kesalahan dan kebebalan. Mereka berkhianat karena godaan budaya syirk,
budaya rendah lainnya.
Berdasarkan itu semua, mungkin sudah tiba masanya kita
harus melawan segala apa yang membuat atau menjadikan manusia kecil. Kita harus
segera keluar dari posisi bergelimang
dosa, pergi menapak medan yang baru. Medan lama itu telah mencampakkan kita
menjadi manusia kerdil, manusia yang kehilangan esensinya yang penting. Sebab
apa, manusia kecil tidak bisa menciptakan manusia yang kuat dan besar.
Sirahul zaman kita perlukan sekarang tidak lain
adalah dalam rangka pencerahan. Pemurnian cita-cita, dalam rangka menapak jalan yang baru. Tanpa
keledai pasrah yang bodoh, sang tuan yang dungu. Insya Allah

Tidak ada komentar:
Posting Komentar