Anggota DPR Hendaknya
Introspeksi Diri
Berbagai kritikan yang dilontarkan terhadap DPR
hendaknya ditanggapi positif. Sindiran yang dialamatkan terhadap lembaga
legislatif, pertanda masyarkat masih
banyak yang mencintai dan perduli
terhadap kinerja dewan agar berjalan sebagaimana mestinya.
Kritikan dan sindiran hendaknya dijadikan cambuk
sehingga para anggota legislatif dapat menjalankan tugas sebagai filter supaya
setiap program yang dibuat pemerintah dapat berpihak kepada masyarakat. Terutama
pada era sekarang banyak lembaga negara telah dihuni pemberhala nafsu dan
syahwat politik kekuasaan dengan moralitas rendah, sehingga menghalakan segala
cara dan menjamurnya budaya korupsi.
Para politisi hendaknya menjauhkan diri dari karakter dasamuka yang sama sekali tidak pernah konsisten, serta sikap egois terhadap kekuasaan. Kita mengapresiasi pejabat negara seperti Busyro yang berani mengungkapkan fakta dan kebenaran yang terjadi di negeri ini. Sesungguhnya pidato Busyro telah mewakili suara hati rakyat.
Para politisi, khususnya yang kini duduk di DPR
dan DPRD, merupakan wakil rakyat. Pemahaman itu seharusnya membuat mereka
menjalani kehidupan yang tidak boleh berbeda jauh dari kehidupan rakyat yang
diwakilinya. Saat ini 30 juta penduduk Indonesia masih berkubang dalam
kemiskinan dan apabila standar kemiskinan dinaikkan sesuai standar Bank Dunia,
jumlah penduduk miskin bisa melonjak minimal dua kali lipat dari jumlah
tersebut.Sangat tidak pantas jika wakil rakyat dan pejabat negara justru
menjalani hidup mewah dan hedonis di tengah kemiskinan rakyat. Apalagi,
sebagian besar dari mereka bukan terlahir dari keluarga kaya, tetapi justru
baru kaya setelah menjadi legislator alias “orang kaya baru”. Kalaupun terlahir
sebagai orang kaya, empati kehidupanlah yang harus dikedepankan. Mobil mewah,
pakaian perlente, dan segala perhiasan, cukup digunakan sesekali saja. Tak
perlu mempertontonkan kemewahan tersebut di hadapan rakyat yang masih hidup
miskin. Kita membutuhkan wakil dan pemimpin yang mampu menyelami kehidupan
rakyat, bukan memanfaatkan jabatan untuk menumpuk kekayaan.
Apabila budaya hedonis terus dikembangkan kita khawatir korupsi semakin merajalela. Untuk membiayai kemewahan jelas dibutuhkan dana yang tak sedikit. Bila penghasilan yang diterima tak bisa menopang
Sebagian wakil rakyat dan pejabat mengedepankan kepentingan pribadi, keluarga, serta kelompok, sehingga mengabaikan kepentingan rakyat.Kita berharap perilaku pragmatis-hedonis para wakil rakyat dan pejabat bisa diminimalisasi, bahkan ditiadakan. Bila itu tak terjadi, rakyat harus berani menghukum mereka saat pemilu dengan tidak memilih politisi bertabiat buruk.
Kita perlu mendorong parpol lebih selektif merekrut calon anggota legislatif (caleg). Sebaiknya, proses perekrutan itu melibatkan psikolog untuk mendeteksi apakah caleg bermental dasamuka atau tidak. Hal ini penting dilakukan agar aspirasi rakyat sungguh-sungguh diperjuangkan, bukan hanya sekadar alat yang dipakai untuk meraih kursi legislator. Parpol juga diharapkan membuat kontrak politik untuk menjamin mereka bekerja buat rakyat. Hal yang sama sebaiknya juga dilakukan saat perekrutan pejabat negara lainnya.
Sejalan dengan itu, gagasan untuk mengurangi jumlah kursi di setiap daerah pemilihan dalam (dapil) patut didukung agar wakil rakyat bisa lebih dekat dengan pemilihnya. Rakyat pun akan lebih mudah memantau kinerja wakilnya dan bila tak memuaskan, yang bersangkutan tak usah dipilih kembali pada pemilu berikutnya.
Langkah lain yang bisa dilakukan adalah verifikasi kekayaan anggota DPR dan pejabat negara setiap enam bulan sekali. Proses verifikasi itu harus dilakukan lebih serius, bukan hanya formalitas belaka. Apabila ditemukan keganjilan, KPK harus segera turun tangan. Kalau perlu, prinsip pembuktian terbalik diterapkan terlebih dahulu terhadap anggota DPR yang selama ini disinyalir sebagai episentrum korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar