Oleh Mas ud HMN Ketua Pusat Kajian Peradaban Melayu Jakarta
Sejarah adalah penulisan perjalanan aktivitas penting manusia dalam kurun
tertentu. Penulisannya dilakukan berdasarkan temuan tertulis, fakta berupa
peninggalan benda, hasil karya masa lalu. Usaha itu dilakukan apa adanya meniadakan
arah tujuan yang tertentu. Dengan kata lain penulisan dilakukan netral tanpa
esensi, tanpa fondasi, pada nilai tertentu. Belajar sejarah sepantasnya belajar
pada teks sejarah tsb, tidak pada sejarah tanpa teks atau sejarah tanpa prinsip.
Mungkinkah hal itu?
Dalam kaitan itu ada yang menarik dari Alex Inkles dan Laxwel (l951 :128)
tentang sejarah demokrasi. Terutama dalam hal uraian sikap demokratis dalam
sejarah. Ia menggambarkan beberapa nilai demokrasi yang harus ada, yaitu (1) menerima kenyataan. Hal ini diartikan kesiapan untuk
perubahan, (2) toleransi sikap ini dipahami sebagai kemampuan untuk bekerjasama
orang lain, (3) waspada terhadap kekuasaan yang diartikan melawan kezaliman dan
(4), kontrol emosi. Satu kemampuan untuk semua pendukung demokrasi siap dalam mengendalikan
diri.
Pandangan di atas ini, agaknya pandangan sejarah yang menentang konsep
sejarah yang netral yang bebas nilai. Bagi
dia demokrasi tidak boleh disikapi takut perubahan, takut pada kekuasaan, menolak bekerjasama dengan pihak
lain dan tanpa kontrol diri yang baik. Inilah karakteristik demokrasi yang harus ada.
Memperjelas karakter demokratis, kita bisa
juga mengutip J Ensyk seorang
psikolog yang membuat ikhtisar sikap
konservatif dalam kekakuan dan kepicikan jiwa (lesser extent). Ia menyatakan ada dua yang penting. Yaitu
faktor pertama, kajian terori gejala konservatif.
Faktor ini muncul dengan indikasinya kekasaran seperti (1) materilistis
diartikan sikap dengan orientasi kebendaan, (2) skeptis dalam makna curiga dan
sangsi, (3) pesimistis, putus asa dan pasrah.
Lalu faktor kedua ada gejala empirik yang muncul
dengan kelembutan. Indikasinya adalah religius percaya pada agama, (2)
intelektual berpikir secara keilmuan, (3) idealis percaya pada perubahan yang
lebih baik (4) optmis dalam arti penuh harapan.
Inilah dua ahli yang berpendapat bahwa pada
dasarnya konsep demokrasi dilandasi oleh prinsip. Yaitu konsep kepribadian
demokratis, dalam teori konservatif dan kajian empirik.
Pandangan bebas nilai dalam kajian sejarah memang
satu hal yang harus dikritisi. Sebab kajian sejarah bebas nilai dalam arti
tanpa teks, akan selalu berubah, bermain dengan kekuasaan. Inilah yang
dikatakan Matthew Lippman ( 2003 : 103). Ia menyatakan bahwa teks merupakan pengejawantahan
nilai-nilai (teks as reflecting values) dan teks adalah bentuk model dalam setting komunitas (teks form
of story of comunity).
Dengan demikian, kajian sejarah
harus dibentuk berdasarkan nilai yang tak bisa dirubah. Inilah sejarah yang
kita sebut kajian sejarah demokrasi yang dilakukan dengan memasukkan nilai
dasar yang harus ada. A conditio qua non. Sebuah hal yang harus ada.
Perjalanan demokrasi Indonesia semakin
menyadarkan kita bahwa sejarah demokrasi telah mengalami perjalanan dalam sejarah
tanpa teks, tanpa arah dan tanpa nilai tersebut. Di zaman Orde Lama, demokrasi
itu adalah demokrasi gotong-royong kemudian demokrasi terpimpin. Gotong-royong
dipahami semua golongan bisa masuk dalam sistem demokrasi. Padahal yang bisa
masuk dalam barisan demokrasi mestilah orang yang harus setuju mengembangkan
demokrasi dengan prinsip demokrasi tersebut dan setuju pada teks nilainya. Inilah
yang dikeluhkan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada Prsiden Soekarno, masalah
kabinet gotong-royong. Yaitu memasukkan unsur partai Komunis dalam kabinet.
Kabinet dengan banyak unsur dianggap lebih baik.
Lain dengan Hatta. Bagi Hatta Komunis tidak bisa
duduk dalam pemerintahan sistem demokratis. Alasannya komunis menentang sistem dan
nilai demokrasi. Tidak pantas unsur yang
menentang demokrasi duduk dalam pemerintahan demokratis tsb.
Pada era Orde Baru demokrasi diorientasikan pada
kekuasaan. Pengertian dalam memaknakan uraian
demokrasi dimonopoli oleh penguasa. Partai politik diatur penguasa, ekonomi
diatur penguasa dan lain sebagainya.
Oleh karena itu bisa dipahami dalam penerapan
demokrasi ekonomi, jika ekonomi disusun
bersama atas asas kekeluargaan diterapkan memang dengan memasukkan keluarga. Jadi
ekonomi kekeluargaan sudah menjelma menjadi ekonomi keluarga. Tentu saja hal itu tidak benar. Sebab
demokrasi ada nilai dan teks, serta arah yang harus dilaksanakan dalam praktek.
Lalu sekarang apa yang terjadi dalam demokrasi era Reformasi?
Yang terjadi kekuasaan partai di tangan mereka yang tidak peka hati nurani.
Penyelewengan nilai demokrasi demi kepentingan rakyat menjadi kepentinga individu
dan kelompok.
Di atas semua itu,
demokrasi yang kita anut harus menyertakan
nilai atau teks yang tidak bisa tidak harus ada. Bagi Islam, nilai
dasarnya adalah Tauhid yang mengutamakan kemanusiaan dan kesejahteraan.
Perjalanan demokrasi kita harus diarahkan oleh nilai Tauhid yang berkemanusiaan
dan kesejahteraan tersebut. Dengan memastikan itu berarti kita menjalankan
demokrasi yang benar. Sebab, bila tidak dan salah menerjemahkan demokrasi, konsep demokrasi yang kita anut,
bukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat, tapi bernilai egoistis, zalim, dan
menjadi sampah, serta menyengsarakan. Semoga tidak demikian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar