Selasa, 17 Januari 2012

Belajar Pada (Teks) Sejarah


Oleh Mas ud HMN Ketua Pusat Kajian Peradaban Melayu Jakarta

Sejarah adalah penulisan perjalanan aktivitas penting manusia dalam kurun tertentu. Penulisannya dilakukan berdasarkan temuan tertulis, fakta berupa peninggalan benda, hasil karya masa lalu. Usaha itu dilakukan apa adanya meniadakan arah tujuan yang tertentu. Dengan kata lain penulisan dilakukan netral tanpa esensi, tanpa fondasi, pada nilai tertentu. Belajar sejarah sepantasnya belajar pada teks sejarah tsb, tidak pada sejarah tanpa teks atau sejarah tanpa prinsip. Mungkinkah hal itu?

Dalam kaitan itu ada yang menarik dari Alex Inkles dan Laxwel (l951 :128) tentang sejarah demokrasi. Terutama dalam hal uraian sikap demokratis dalam sejarah. Ia menggambarkan beberapa nilai demokrasi yang harus ada, yaitu (1) menerima  kenyataan. Hal ini diartikan kesiapan untuk perubahan, (2) toleransi sikap ini dipahami sebagai kemampuan untuk bekerjasama orang lain, (3) waspada terhadap kekuasaan yang diartikan melawan kezaliman dan (4), kontrol emosi. Satu kemampuan untuk semua pendukung demokrasi siap dalam mengendalikan diri.

Pandangan di atas ini, agaknya pandangan sejarah yang menentang konsep sejarah yang  netral yang bebas nilai. Bagi dia demokrasi tidak boleh disikapi takut perubahan, takut pada  kekuasaan, menolak bekerjasama dengan pihak lain dan tanpa kontrol diri yang baik. Inilah karakteristik demokrasi yang harus ada.

Memperjelas karakter demokratis, kita bisa juga mengutip J Ensyk seorang psikolog yang  membuat ikhtisar sikap konservatif dalam kekakuan dan kepicikan jiwa (lesser extent).  Ia menyatakan ada dua yang penting. Yaitu faktor pertama, kajian terori gejala  konservatif. Faktor ini muncul dengan indikasinya kekasaran seperti (1) materilistis diartikan sikap dengan orientasi kebendaan, (2) skeptis dalam makna curiga dan sangsi, (3) pesimistis, putus asa dan pasrah. 

Lalu faktor kedua ada gejala empirik yang muncul dengan kelembutan. Indikasinya adalah religius percaya pada agama, (2) intelektual berpikir secara keilmuan, (3) idealis percaya pada perubahan yang lebih baik (4) optmis dalam arti penuh harapan.

Inilah dua ahli yang berpendapat bahwa pada dasarnya konsep demokrasi dilandasi oleh prinsip. Yaitu konsep kepribadian demokratis, dalam teori konservatif dan kajian empirik.

Pandangan bebas nilai dalam kajian sejarah memang satu hal yang harus dikritisi. Sebab kajian sejarah bebas nilai dalam arti tanpa teks, akan selalu berubah, bermain dengan kekuasaan. Inilah yang dikatakan Matthew Lippman ( 2003 : 103). Ia menyatakan bahwa teks merupakan pengejawantahan nilai-nilai (teks as reflecting values) dan teks adalah  bentuk model dalam setting komunitas (teks form of story of comunity).

Dengan demikian, kajian  sejarah  harus dibentuk berdasarkan nilai yang tak bisa dirubah. Inilah sejarah yang kita sebut kajian sejarah demokrasi yang dilakukan dengan memasukkan nilai dasar yang harus ada. A conditio qua non. Sebuah hal yang harus ada.

Perjalanan demokrasi Indonesia semakin menyadarkan kita bahwa sejarah demokrasi telah mengalami perjalanan dalam sejarah tanpa teks, tanpa arah dan tanpa nilai tersebut. Di zaman Orde Lama, demokrasi itu adalah demokrasi gotong-royong kemudian demokrasi terpimpin. Gotong-royong dipahami semua golongan bisa masuk dalam sistem demokrasi. Padahal yang bisa masuk dalam barisan demokrasi mestilah orang yang harus setuju mengembangkan demokrasi dengan prinsip demokrasi tersebut dan setuju pada teks nilainya. Inilah yang dikeluhkan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada Prsiden Soekarno, masalah kabinet gotong-royong. Yaitu memasukkan unsur partai Komunis dalam kabinet. Kabinet dengan banyak unsur dianggap lebih baik.

Lain dengan Hatta. Bagi Hatta Komunis tidak bisa duduk dalam pemerintahan sistem demokratis. Alasannya komunis menentang sistem dan nilai demokrasi. Tidak pantas  unsur yang menentang demokrasi duduk dalam pemerintahan demokratis tsb.

Pada era Orde Baru demokrasi diorientasikan pada kekuasaan. Pengertian dalam  memaknakan uraian demokrasi dimonopoli oleh penguasa. Partai politik diatur penguasa, ekonomi diatur penguasa dan lain sebagainya.

Oleh karena itu bisa dipahami dalam penerapan demokrasi ekonomi, jika ekonomi  disusun bersama atas asas kekeluargaan diterapkan memang dengan memasukkan keluarga. Jadi ekonomi kekeluargaan sudah menjelma menjadi ekonomi keluarga. Tentu saja hal itu tidak benar. Sebab demokrasi ada nilai dan teks, serta arah yang harus dilaksanakan dalam praktek.

Lalu sekarang  apa yang terjadi dalam demokrasi era Reformasi? Yang terjadi kekuasaan partai di tangan mereka yang tidak peka hati nurani. Penyelewengan nilai demokrasi demi kepentingan rakyat menjadi kepentinga individu dan kelompok.

Di atas semua itu, demokrasi yang kita anut harus menyertakan  nilai atau teks yang tidak bisa tidak harus ada. Bagi Islam, nilai dasarnya adalah Tauhid yang mengutamakan kemanusiaan dan kesejahteraan. Perjalanan demokrasi kita harus diarahkan oleh nilai Tauhid yang berkemanusiaan dan kesejahteraan tersebut. Dengan memastikan itu berarti kita menjalankan demokrasi yang benar. Sebab, bila tidak dan salah menerjemahkan  demokrasi, konsep demokrasi yang kita anut, bukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat, tapi bernilai egoistis, zalim, dan menjadi sampah, serta menyengsarakan. Semoga tidak demikian!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar