Selasa, 31 Januari 2012

Kasus Palu Yang Memilukan


Oleh Mas ud HMN Ketua Pusat 
Kajian Peradaban Melayu Jakarta

KASUS PALU yang memilukan memang benar. Inti berita adalah dihukumnya seorang anak mencuri sandal jepit milik polisi. Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah telah menjatuhkan vonis hukuman beberapa tahun penjara mencederai rasa keadilan masyarakat. Ini sungguh di luar bingkai kemanusiaan.

Sehingga menimbulkan protes keras masyarakat dengan aksi mengumpulkan sandal jepit kepada Mabes Polri di Jakarta. Aksi itu ingin menyatakan polisi telah dengan sengaja memperkarakan anak di bawah umur, serta tidak menilai tindak perbuatan si anak dengan pasal hukum yang tidak pantas. Hakim Pengadilan Negeri Palu juga diprotes karena  kurang mengerti membaca teori hukum dan keadilan bagi masyarakat.

Agaknya tidak berlebihan jika disimpulkan sistem hukum yang meneguhkan nilai seperti keadilan perlu diperjuangkan. Sebab nilai keadilan semakin jauh saja dari kenyataan. Padahal, keadilan itu adalah bagian yang sudah ada dalam diri manusia.

Dari kasus Pengadilan Negeri Palu tsb, setidaknya berkaitan dengan 3 (tiga) hal, yaitu  merupakan bagian dari (1) penentangan rasa keadilan (2) ketidak pahaman esensi hukum dan (3) pengaruh nilai lain. Hal itu bisa dinyatakan sebagai berikut:

Masalah pertama, menentang rasa keadilan masyarakat diartikan sebagai tindak kezaliman. Yang seharusnya masyarakat yang harus dilindungi hukum, tapi yang dilaksanakan kebalikannya, yaitu menggilas, melumpuhkan dan meyengsarakan masyarakat. Hukum yang terpisahkan dari masyarakatnya.

Masalah kedua, kurang memahami apa yang menjadi tugas hukum dalam praktek. Artinya bagaimana cita-cita hukum (recht idee) melindungi yang lemah, memberi keadilan bagi semua tanpa pandang bulu. Dengan demikian  ada rasa aman, ada kepastian hukum dan ada keadilan dalam masyarakat. Termasuk mepertimbangkan hukum yang berbeda kepada pelanggaran si koruptor pejabat ketimbang pelanggaran si pencuri karena miskin dan lapar. 

Masalah ketiga, adalah pengaruh dari nilai lain, yaitu nilai kekuasaan, yang menghilangkan rasa, menghilangakan kata hati nurani yang dalam. Masalah ini bersumber dari pengaruh tatanan dunia, yaitu pengaruh global yang datang dari  masyarakat industri. Perilaku serba instan yang cenderung menghendaki sesuatu dengan cepat tanpa peduli dengan proses yang harus dilalui. Seperti orang ingin kaya, ingin mendapatkan untung dengan menghalalkan segala cara.

Dari paparan di atas, yang penting untuk kita perhatikan adalah hilangnnya rasa keadilan dari pejabat penegak hukum. Mengapa semua ini bisa terjadi. Bukan rasa keadilan itu merupakan sisi dasar dari manusia?

Kalau misalkan kaki kita luka merasakan sakit. Hal itu sama pula dengan orang lain yang luka pasti merasakan sakit. Kalau kita dizalimi orang kita tidak mau. Sama juga orang lain pun tidak senang dizalimi. Ini adalah sangat dasar, yaitu sama pada semua orang dan  dimiliki sejak lahir. Rasa sakit, senang, benci, marah adalah milik semua orang. Begitu juga keadilan hukum, sama bagi semua, tanpa kecuali. Dalam hal inilah hati nurani sesungguhnya tempat bertahtanya kemanusiaan. Dapat merasakan perasaan orang lain, dalam sakit, dalam senang marah dan benci. Karena itu pula ia mampu mencintai orang lain.

Ajaran Islam menegaskan hal itu. Bagaimana kedudukan seseorang yang beriman seperti dinyatakan oleh sebuah hadist Rasulullah Muhammad SAW menyatakan:

”Tidaklah beriman di antara kamu sampai ia mampu mencintai orang lain sebagaimana     ia mencintai dirinya sendiri

Dalam kata yang lain, melaksanakan keadilan bagi orang lain adalah melaksanakan kemanuisaan. Tugas orang beriman adalah menjunjung tinggi kemanusiaan, tanpa itu ia bukan orang beriman.

Kemanusiaan  dalam  konstitusi kita ditorehkan pada pembukaan Undang-Undang Dasar yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Teks itu sungguh merupakan cita-cita dari bangsa ini dalam persamaan. Kata Adil adalah abtraksi dari nilai mengantarkan kehidupan seseorang agar meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Karena itu, seorang pencuri karena kelaparan harus dibedakan dengan koruptor pejabat  pencuri uang negara. Pelaku tindak pencurian karena miskin, karena tidak punya uang membeli beras harus dimaafkan dan dibebaskan dari tuntutan. Bahkan negaralah yang  harus menjamin seseorang warga negara bisa memperoleh makan untuk hidup.

Anak di bawah umur mencuri sendal harus dibebaskan dan diberi pendidikan. Penegak hukum yang terlibat dalam proses hukum yang tidak mengindahkan  prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab seperti itu, adalah pejabat yang buta hati, tak mengerti hukum dalam praktek, adalah berbahaya dan harus mendapatkan sanksi.

Pada akhirnya, sekaranglah waktunya untuk kita menentukan pilihan dalam kosnep pengakan hukum dalam mengawal kemanusiaan. Pilihan itu adalah memastikan bahwa  pejabat penegak hukum yang mengerti cita-cita hukum, memiliki hati nurani dan  beriman. Hanya kepada merekalah amanah bisa diberikan untuk menegakkan kemanuisaan yang adil dan beradab. Tanpa itu, negara ini akan menjadi negeri yang semakin meluncur jauh ke dalam lembah kehinaan, dan ke dalam penderitaan yang bersangatan di neraka Tuhan yang sangat dalam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar