Oleh Mas ud HMN Ketua Pusat
Kajian Peradaban Melayu Jakarta
KASUS PALU yang
memilukan memang benar. Inti berita adalah dihukumnya seorang anak mencuri
sandal jepit milik polisi. Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah telah menjatuhkan
vonis hukuman beberapa tahun penjara mencederai rasa keadilan masyarakat. Ini
sungguh di luar bingkai kemanusiaan.
Sehingga menimbulkan protes keras masyarakat dengan aksi mengumpulkan
sandal jepit kepada Mabes Polri di Jakarta. Aksi itu ingin menyatakan polisi
telah dengan sengaja memperkarakan anak di bawah umur, serta tidak menilai tindak
perbuatan si anak dengan pasal hukum yang tidak pantas. Hakim Pengadilan Negeri
Palu juga diprotes karena kurang
mengerti membaca teori hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Agaknya tidak berlebihan jika disimpulkan sistem hukum yang meneguhkan
nilai seperti keadilan perlu diperjuangkan. Sebab nilai keadilan semakin jauh saja
dari kenyataan. Padahal, keadilan itu adalah bagian yang sudah ada dalam diri
manusia.
Dari kasus Pengadilan Negeri Palu tsb, setidaknya berkaitan dengan 3
(tiga) hal, yaitu merupakan bagian dari
(1) penentangan rasa keadilan (2) ketidak pahaman esensi hukum dan (3) pengaruh
nilai lain. Hal itu bisa dinyatakan sebagai berikut:
Masalah pertama, menentang rasa keadilan masyarakat diartikan sebagai tindak
kezaliman. Yang seharusnya masyarakat yang harus dilindungi hukum, tapi yang dilaksanakan
kebalikannya, yaitu menggilas, melumpuhkan dan meyengsarakan masyarakat. Hukum
yang terpisahkan dari masyarakatnya.
Masalah kedua, kurang memahami apa yang menjadi tugas hukum dalam praktek.
Artinya bagaimana cita-cita hukum (recht idee) melindungi yang lemah, memberi
keadilan bagi semua tanpa pandang bulu. Dengan demikian ada rasa aman, ada kepastian hukum dan ada
keadilan dalam masyarakat. Termasuk mepertimbangkan hukum yang berbeda kepada
pelanggaran si koruptor pejabat ketimbang pelanggaran si pencuri karena miskin
dan lapar.
Masalah ketiga, adalah pengaruh dari nilai lain, yaitu nilai kekuasaan,
yang menghilangkan rasa, menghilangakan kata hati nurani yang dalam. Masalah ini
bersumber dari pengaruh tatanan dunia, yaitu pengaruh global yang datang dari masyarakat industri. Perilaku serba instan
yang cenderung menghendaki sesuatu dengan cepat tanpa peduli dengan proses yang
harus dilalui. Seperti orang ingin kaya, ingin mendapatkan untung dengan
menghalalkan segala cara.
Dari paparan di atas, yang penting untuk kita perhatikan adalah hilangnnya
rasa keadilan dari pejabat penegak hukum. Mengapa semua ini bisa terjadi. Bukan rasa
keadilan itu merupakan sisi dasar dari manusia?
Kalau misalkan kaki kita luka merasakan sakit. Hal
itu sama pula dengan orang lain yang luka pasti merasakan sakit. Kalau kita
dizalimi orang kita tidak mau. Sama juga orang lain pun tidak senang dizalimi.
Ini adalah sangat dasar, yaitu sama pada semua orang dan dimiliki sejak lahir. Rasa sakit, senang,
benci, marah adalah milik semua orang. Begitu juga keadilan hukum, sama bagi
semua, tanpa kecuali. Dalam hal inilah hati nurani sesungguhnya tempat
bertahtanya kemanusiaan. Dapat merasakan perasaan orang lain, dalam sakit, dalam
senang marah dan benci. Karena itu pula ia mampu mencintai orang lain.
Ajaran Islam menegaskan hal itu. Bagaimana
kedudukan seseorang yang beriman seperti dinyatakan oleh sebuah hadist Rasulullah
Muhammad SAW menyatakan:
”Tidaklah beriman di antara
kamu sampai ia mampu mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”
Dalam kata yang lain, melaksanakan keadilan bagi
orang lain adalah melaksanakan kemanuisaan. Tugas orang beriman adalah
menjunjung tinggi kemanusiaan, tanpa itu ia bukan orang beriman.
Kemanusiaan dalam
konstitusi kita ditorehkan pada pembukaan Undang-Undang Dasar yaitu
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Teks itu sungguh merupakan cita-cita dari
bangsa ini dalam persamaan. Kata Adil adalah abtraksi dari nilai mengantarkan kehidupan
seseorang agar meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Karena itu, seorang pencuri
karena kelaparan harus dibedakan dengan koruptor pejabat pencuri uang negara. Pelaku tindak pencurian karena
miskin, karena tidak punya uang membeli beras harus dimaafkan dan dibebaskan
dari tuntutan. Bahkan negaralah yang
harus menjamin seseorang warga negara bisa memperoleh makan untuk hidup.
Anak di bawah umur
mencuri sendal harus dibebaskan dan diberi pendidikan. Penegak hukum yang
terlibat dalam proses hukum yang tidak mengindahkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab
seperti itu, adalah pejabat yang buta hati, tak mengerti hukum dalam praktek, adalah
berbahaya dan harus mendapatkan sanksi.
Pada akhirnya,
sekaranglah waktunya untuk kita menentukan pilihan dalam kosnep pengakan hukum
dalam mengawal kemanusiaan. Pilihan itu adalah memastikan bahwa pejabat penegak hukum yang mengerti cita-cita
hukum, memiliki hati nurani dan beriman.
Hanya kepada merekalah amanah bisa diberikan untuk menegakkan kemanuisaan yang
adil dan beradab. Tanpa itu, negara ini akan menjadi negeri yang semakin
meluncur jauh ke dalam lembah kehinaan, dan ke dalam penderitaan yang
bersangatan di neraka Tuhan yang sangat dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar