Jakarta,
Melayu Pos
Perbedaan
pendapatan (income), gesekan kepentingan sesaat dan kesenjangan sosial mewarnai
beragam konflik antar-ummat beragama.
Menjelang pergantian tahun baru
2012, para tokoh lintas agama mengakui adanya masalah perbedaan pendapatan dan
gesekan kepentingan itu, dalam renungan bersama tentanga nasib dan masa depan
kerukunan umat beragama di Indonesia. ”Beda pendapat itu biasa, tapi beda
pendapatan sangatlah berdampak sosial,” kata pengamat sosial-agama Moh Shofan
dari Yayasan Paramadina. Masa depan toleransi antar beragama di Indonesia cukup
memperihatinkan.
Sejumlah tokoh menyampaikan
keprihatinan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam refleksi akhir tahun,
kemarin. Para tokoh agama juga menilai musyawarah mufakat dan gotong royong
telah tergerus sistem yang mengedepankan kepentingan besar dan selalu
memenangkan modal besar.
Mencederai toleransi dan kerukunan
ialah mencederai komitmen kebangsaan. Kasus Syiah-Sunni di Sampang dan Gereja
Yasmin Bogor merupakan masalah kebangsaan yang mesti diselesaikan secara baik
dalam kebersamaan.
Segenap komponen bangsa, baik
penguasa maupun rakyat, cenderung merusak diri sendiri dan bangsa. Semua pihak
yang mempunyai kekuasaan tidak amanah, dan dihimbau supaya kembali kepada
spirit melayani masyarakat agar tumbuh optimisme yang kuat dan maju ke depan.
Pesan moral disuarakan Ketua
Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Andreas A Yewangoe, Ketua Konferensi Wali
Gereja Indonesia (KWI) Mgr Situmorang dan Sekretaris KWI Romo Benny Susetyo,
Ketua Parisada Dharma Indonesia Nyoman Suwisma, Ketua Majelis Budhayana
Indonesia Khrisnanda, dan Sekretaris Matakin Kristian serta Ketua Umum PBNU KH
Said Aqil Siradj.
Dalam hal ini, Ketua Dewan Syura
Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat mengatakan,
konflik yang terjadi antara Sunni-Syiah di Sampang, Madura, bukan karena
perbedaan pendapat, melainkan karena perbedaan pendapatan yang dipicu konflik
internal keluarga antara Raisul Hukama (Rais) dan adiknya, Tajul Muluk.
Kang Jalal menjelaskan, Rais dan
Tajul awalnya sama-sama menjadi pengurus IJABI. Namun, karena ada persoalan
internal di antara keduanya, akhirnya pada 2009 Rais memutuskan untuk keluar
dari IJABI dan bergabung bersama kelompok yang "berlawanan".
"Bangsa ini sudah damai sejak
dahulu. Kita ini (Sunni-Syiah) rukun, konflik terjadi karena ada perbedaan
pendapatan. Saya tidak enak mengatakannya, tapi ini karena 'matre',"
ungkapnya.
Adalah tugas para tokoh masyarakat
dan pemuka agama untuk lebih banyak berperan menyadarkan mereka yang tengah
berkonflik, agar solidaritas sosial. perdamaian dan ketentraman bisa diamalkan.
Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia
(Ijabi) yang merupakan Wadah jamaah Syiah meminta kepada lembaga-lembaga
keagamaan negara khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) melindungi kebebasan
beragama dengan tidak membuat pernyataan yang menghakimi kelompok minoritas
secara tidak adil.
"Mendesak lembaga keagamaan MUI melindungi
kebebasan beragama yang menghakimi kelompok minoritas," ujar Ketua Dewan
Syura Ijabi Jalaluddin Rakhmat .
Selain itu, Ijabi meminta kepada Ketua Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siradj untuk tidak hanya sekedar mengimbau
warga NU untuk menghentikan kekerasan, namun bertindak secara konkret agar isu
ini tidak berkelanjutan.
Pasalnya, semasa kepemimpinan Abdurrahman Wahid atau
Gus Dur, warga NU atau Sunni tidak bertindak sendiri-sendiri setelah Gus Dur
bersikap. "Kalau dulu saat zaman almarhum Gus Dur apapun katanya semua
diturutin sampai ke tingkat bawah, kalau yang sekarang sepertinya tidak,"
imbuhnya.
Jalaluddin menambahkan, semua warga pemeluk
Syiah diminta untuk menahan diri agar konflik ini tidak berlarut-larut. Selain
itu warga pemeluk Syiah diharapkan bisa bekerja sama dengan instansi-instansi
pemerintah dan ormas-ormas serta lembaga sosial masyarakat untuk menyelesaikan
semua persoalan dengan berlandaskan hukum dan ketentuan yang berlaku.
"Kita minta para penganut Syiah menahan diri dulu lah," katanya. Ic/Mp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar