Selasa, 14 Februari 2012

Kemiskinan


Oleh: Mas‘ud HMN
Ketua Pusat Kajian Peradaban
Melayu Jakarta

Jelas ada perbedaan jika dibandingkan dengan kriteria miskin berdasarkan perhitungan Bank Dunia, bukan Rp 12 ribu perhari melainkan 2 $ US dolar perhari yang setara nilai Rp 550 ribu perbulan. Jadi ada perbedaan kriteria miskin BPS dengan kriteria Bank Dunia.

Di atas semua itu, yang pasti jumlah orang miskin di negeri ini masih tinggi. Meskipun  para ahli menyatakan ekonomi Indonesia bertambah baik, para ahli berlindung di balik teori dan angka semu.

Sekali lagi, kemiskinan masalah besar bangsa kita. Kini tinggal apa rencana besar yang bisa mengentaskan kemiskinan ini. Sejauh ini, pemerintah belum melakukan langkah besar. Selain hanya kutak kutik angka kemiskinan tsb. Peningkatan anggaran biaya negara dalam APBN, selain dengan hutang diiringi pula naiknya dan maraknya tingkat korupsi.

Kita gagal melaksanakan pembangunan ekonomi yang mensejahterkan rakyat, karena dibangun beriringan dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Berapa banyak uang  dibawa koruptor ke luar negeri, termasuk yang dibawa oleh Nazaruddin mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Ini semua berlansung dengan pola kolusi dan nepotisme.

Sulit dibantah, korupsi berimplikasi kepada yang lain, seperti melanggengkan kemisikinan. Sehingga upaya pengentasan kemiskinan akan gagal bila korupsi masih berlanjut.

Akumulasi kemiskinan bisa juga menyulut revolusi. Sementara korupsi besaudara dengan kolusi dan nepotisme. Para ahli kita nampaknya membiarkan hal itu.

Dalam hubungan ini beberapa negara bisa dijadikan perbandingan. Perombakan pemerintah di Mesir belakangan ini, sebab utamanya adalah ekonomi yang kacau dan  tingkat kemiskinan tinggi. Pemerintah pimpinan Husni Mubarak di masa lalu melaksanakan kebijakan ekonomi yang menguntungkan pihak atas dan kolega presiden.   

Sama halnya demontrasi di Yaman, sebabnya adalah kebijakan ekonomi yang tidak adil dari Presidennya Hasan Al Saleh yang lebih mengutamakan kelompok famili dan  sahabat terdekat.

Kebijakan ekonomi dua negara yang kita kemukakan di atas, intinya adalah ekonomi yang searah dengan kepentingan rakyat pada umumnya.

Jika kita analogkan dengan negara Saudi Arabia, negara kaya minyak itu sangat memperhatikan rakyatnya. Raja betul-betul menjamin rakyat Saudi Arabia dengan perumahan, kesehahan, dan pendidikan. Ekonomi yang dijalankan pemerintah searah dan mengutamkana kepentingan rakyat umumnya.

Rakyat Saudi tidak masalah dengan Rajanya. Karena Raja di mata rakyat pelindung, pembela kepentingan mereka.

Hal yang sama bisa kita lihat juga pada pemerintahan Sultan Hasanul Bolqiyah Brunai Darussalam, sebuah negara yang diperintah oleh seorang raja dengan sistem kerajaan. Kakuasaan penuh di tangan raja secara otoritatif. Namun raja menggunakannya untuk kepentingan dan kemajuan rakyat dan negeri Brunai.

Sejauh ini tidak ada protes dan demontrasi menentang raja di Brunai Darussalam. Masalahnya memang pada kebijakan raja, termasuk kebijakan ekonomi yang bisa sejalan dengan kepentingan rakyatnya.

Kembali ke inti soal kesmiskinan, seyogyanya menjadi perhatian ektra bagi penyelenggara negara. Kemiskinan tidak searah dengan pembentukan citra, kemiskinan adalah soal hajat hidup rakyat, soal esensial.

Dalam pandangan agama, kemiskinan faktor yang membawa kekafiran. Memperjuangkan kaum yang papa, fakir adalah tuntutan kepada semua pihak. Kemenangan sejati ada  pada kemenangan kaum yang lemah. Membela kelompok yang lemah adalah suatu sikap mulia dan kesatria.

Sementara berkolusi dengan kelompok berkuasa dengan mengabaikan kaum yang lemah dan papa itu tidaklah lain dari pada pengkhianat berjiwa kerdil.

Kita ingin mengingatkan semua. Bangsa ini akan eksis jika kaum yang lemah kita bela dan menjadi sikap pemihakan kita. Kita bersama mereka. Kemenangan itu bersama kaum yang lemah. Semoga!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar