Oleh: Mas‘ud HMN
Ketua
Pusat Kajian Peradaban
Melayu Jakarta
Jelas ada perbedaan jika dibandingkan dengan kriteria
miskin berdasarkan perhitungan Bank Dunia, bukan Rp 12 ribu perhari melainkan 2
$ US dolar perhari yang setara nilai Rp 550 ribu perbulan. Jadi ada perbedaan
kriteria miskin BPS dengan kriteria Bank Dunia.
Di atas semua itu, yang pasti jumlah orang miskin
di negeri ini masih tinggi. Meskipun
para ahli menyatakan ekonomi Indonesia bertambah baik, para ahli
berlindung di balik teori dan angka semu.
Sekali lagi, kemiskinan masalah besar bangsa
kita. Kini tinggal apa rencana besar yang bisa mengentaskan kemiskinan ini. Sejauh
ini, pemerintah belum melakukan langkah besar. Selain hanya kutak kutik angka
kemiskinan tsb. Peningkatan anggaran biaya negara dalam APBN, selain dengan hutang
diiringi pula naiknya dan maraknya tingkat korupsi.
Kita gagal melaksanakan pembangunan ekonomi yang mensejahterkan
rakyat, karena dibangun beriringan dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Berapa banyak uang dibawa koruptor ke luar
negeri, termasuk yang dibawa oleh Nazaruddin mantan Bendahara Umum Partai
Demokrat. Ini semua berlansung dengan pola kolusi dan nepotisme.
Sulit dibantah, korupsi berimplikasi kepada yang
lain, seperti melanggengkan kemisikinan. Sehingga upaya pengentasan kemiskinan akan
gagal bila korupsi masih berlanjut.
Akumulasi kemiskinan bisa juga menyulut revolusi.
Sementara korupsi besaudara dengan kolusi dan nepotisme. Para ahli kita
nampaknya membiarkan hal itu.
Dalam hubungan ini beberapa negara bisa dijadikan
perbandingan. Perombakan pemerintah di Mesir belakangan ini, sebab utamanya adalah
ekonomi yang kacau dan tingkat
kemiskinan tinggi. Pemerintah pimpinan Husni Mubarak di masa lalu melaksanakan
kebijakan ekonomi yang menguntungkan pihak atas dan kolega presiden.
Sama halnya demontrasi di Yaman, sebabnya adalah
kebijakan ekonomi yang tidak adil dari Presidennya Hasan Al Saleh yang lebih
mengutamakan kelompok famili dan sahabat
terdekat.
Kebijakan ekonomi dua negara yang kita kemukakan
di atas, intinya adalah ekonomi yang searah dengan kepentingan rakyat pada
umumnya.
Jika kita analogkan dengan negara Saudi Arabia,
negara kaya minyak itu sangat memperhatikan rakyatnya. Raja betul-betul menjamin
rakyat Saudi Arabia dengan perumahan, kesehahan, dan pendidikan. Ekonomi yang
dijalankan pemerintah searah dan mengutamkana kepentingan rakyat umumnya.
Rakyat Saudi tidak masalah dengan Rajanya. Karena
Raja di mata rakyat pelindung, pembela kepentingan mereka.
Hal yang sama bisa kita lihat juga pada pemerintahan
Sultan Hasanul Bolqiyah Brunai Darussalam, sebuah negara yang diperintah oleh
seorang raja dengan sistem kerajaan. Kakuasaan penuh di tangan raja secara otoritatif.
Namun raja menggunakannya untuk kepentingan dan kemajuan rakyat dan negeri
Brunai.
Sejauh ini tidak ada protes dan demontrasi
menentang raja di Brunai Darussalam. Masalahnya memang pada kebijakan raja,
termasuk kebijakan ekonomi yang bisa sejalan dengan kepentingan rakyatnya.
Kembali ke inti soal kesmiskinan, seyogyanya
menjadi perhatian ektra bagi penyelenggara negara. Kemiskinan tidak searah
dengan pembentukan citra, kemiskinan adalah soal hajat hidup rakyat, soal
esensial.
Dalam pandangan agama, kemiskinan faktor yang
membawa kekafiran. Memperjuangkan kaum yang papa, fakir adalah tuntutan kepada semua
pihak. Kemenangan sejati ada pada kemenangan
kaum yang lemah. Membela kelompok yang lemah adalah suatu sikap mulia dan
kesatria.
Sementara berkolusi dengan kelompok berkuasa
dengan mengabaikan kaum yang lemah dan papa itu tidaklah lain dari pada
pengkhianat berjiwa kerdil.
Kita ingin mengingatkan semua. Bangsa ini akan eksis
jika kaum yang lemah kita bela dan menjadi sikap pemihakan kita. Kita bersama mereka.
Kemenangan itu bersama kaum yang lemah. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar