Jakarta, Melayu Pos
Pada semester II
tahun 2011 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) telah melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu
(PDTT) atas Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Dana Bagi
Hasil (DBH) sektor pertambangan. Penjelasan mengenai hasil pemeriksaan tersebut
disampaikan oleh anggota BPK RI, Dr Ali
Masykur Musa, M.Si, M.Hum dalam konfrensi pers yang
berlangsung di kantor pusat BPK RI, Kamis
(12/4) lalu.
Pemeriksaan
dilakukan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan tujuh
pemerintah kabupaten/kota, yaitu kabupaten Kutai Kartanegara, kabupaten Penajam
Paser Utara, kota Samarinda, kabupaten Tapin, kabupaten Banjar, kabupaten
Barito Timur dan kabupaten Barito Selatan, 77 pemegang kuasa pertambangan
(KP)/izin usaha pertambangan (IUP), 10 kontraktor perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara (PKP2B) serta instansi terkait lainnya di Jakarta, Kalimantan
Timur dan Kalimantan Tengah.
Pemeriksaan
dilakukan untuk menilai apakah sistem pengendalian
intern (SPI) atas pengelolaan PNBP, DBH sumber daya alam pertambangan umum dan
lingkungan pertambangan batubara, khususnya reklamasi telah
sesuai dengan ketentuan, serta kepatuhan perusahaan terkait kewajiban
pelaksanaan ijin di kawasan hutan.
Hasil
pemeriksaan menunjukkan bahwa rancangan dan implementasi sistem pengendalian
intern atas pengelolaan pertambangan batubara yang terkait dengan perijinan,
pengelolaan PNBP dan DBH serta pengelolaan lingkungan pertambangan batubara
pada kementerian ESDM dan 7 perintah kabupaten yang menjadi uji petik
pemeriksaan belum mampu secara efektif
menjamin pencapaian tujuan dan kepatuhan terhadap peraturan per undang-undangan.
Hasil
pemeriksaan mengungkapkan; (1) Kekurangan penerimaan Negara dari iuran tetap
dan Royalti serta denda administrasi sebesar Rp.95,98 miliar dan US$43,33 juta
(ekuivalen Rp.393,993 miliar) atau seluruhnya Rp.488,52 miliar. Atas masalah
tersebut, sampai dengan 30 Maret 2012 sebesar Rp.221,33 juta dan USD9,40 juta
(ekuivalen Rp.84,68 miliar) atau keseluruhan Rp.84,90 miliar telah disetor
perusahaan ke kas negara atau baru 17,37% dari total yang harus dibayar
perusahaan tambang. Hal ini menambah saldo piutang negara sektor pertambangan
umum dalam laporan keuangan kementerian ESDM per 31 maret 2011 (unaudited) khususnya dari iuran tetap,
royalti, dana hasil penjualan batubara (DHPB) dan denda menjadi sebesar Rp.1,1
triliun yang merupakan potensi penerimaan negara.
(2) 64 pemegang
ijin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi (IUP OP) belum menyampaikan
rencana reklamasi dan/atau rencana pasca tambang,
dan 73 pemegang IUP OP serta 2 pemegang
PKP2B belum menempatkan jaminan reklamasi dan/atau jaminan pasca tambang sesuai Peraturan Pemerintah
Nomor 78 tahun 2010 tentang reklamasi dan pasca tambang
minimal sebesar Rp.2,45 miliar. Hal tersebut mengakibatkan
pemerintah dan pemerintah daerah tidak memperoleh jaminan bahwa areal bekas
pertambangan batubara di wilayahnya akan direklamasi dan berpotensi merusak
lingkungan. Atas masalah tersebut kementerian ESDM dan Pemda terkait diminta
terus melakukan pembinaan dan penagihan jaminan reklamasi/pascatambang sesuai
ketentuan yang berlaku.
(3) Menteri ESDM
belum menetapkan peraturan tentang tata cara pemberian sanksi administratif dan
tata cara pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan
mineral dan batubara. Hal tersebut mengakibatkan upaya penegakan hukum dan
pengawasan pemerintah atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh pemegang ijin usaha pertambangan (IUP), ijin pertambangan rakyat
(IPR), natau ijin usaha pertambangan khusus (IUPK) belum dapat berjalan dengan
optimal yang disebabkaan menteri ESDM kurang memperhatikan ketentuan pasal 174
UU Nomor 4 Tahun 2009. Atas masalah tersebut, kementerian ESDM diminta segera
menyiapkan peraturan tentang tata cara pemberian sanksi administratif dan tata
cara pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaaha pertambangan mineral
dan batubara.
Selain itu
berdasarkan data dari kementerian ESDM dhi.Direktur Jenderal Mineral dan
Batubara, dari 10.235 perusahaan tambang yang tercatat yang
sudah dinyatakan telah Clean and Clear per 1 Maret 2012 baru sebanyak 4.151
perusahaan atau baru 40,55%. Sisanya sebanyak 6.084 perusahaan atau 59,45% masih belum clean and clear atau
masih dalam proses rekonsiliasi dengan instansi terkait. Gurning
Tidak ada komentar:
Posting Komentar