Oleh Mas ud HMN *)
Adanya rencana hakim akan melaksanakan pemogokan massal jika gaji hakim
tidak dinaikkan, semakin ”mengamburadulkan” penegakan dan hukum di negara kita (31/32).
Pertanyaannya (1) ada apa di balik ini semua, dan (2) jika hakim mogok massal, siapa
yang salah?
Seperti yang dinyatakan oleh Ketua Komisi Yudisial, lembaga yang mengawasi perilaku
para hakim, ia dapat memahami tuntutan para hakim tersebut yang sudah tidak
mendapat kenaikan gaji sejak empat tahun
belakangan ini. Karena itu, Ketua Komisi Yudisial Suparman meminta Presiden
agar Menteri Keuangan membayarkan gaji kepada para hakim sesuai dengan peraturan
Pegawai Negeri Sipil yang berlaku.
Memang sudah menjadi kenyataan, publik menyorot wajah
para kakim kita, karena dalam pemutusan perkara ada hakim menerima suap. Tetapi
di lain pihak gaji hakim tidak ada
penyesuaian seperti pegawai negeri lainnya. Gejala ini seolah-olah paradoks.
Pertama muncul ke publik secara terbuka adalah pernyataan Hakim Agung Ad Hoc
Tipikor Syamsul Rakan Chaniago dalam acara tvOne Indonesian Lawyer Club 3
Desember 2011.
Syamsul Rakan Chaniago menyatakan bahwa gajinya hanya
Rp 18 juta tanpa ada tambahan lain.
Tugas pokoknya mulai hari Senin sampai Jumat sesuai jam kerja pegawai negeri
sipil. Nama Hakim Agung sebagai pejabat negara tidak mendapat tunjangan apa-apa,
rumah dinas memang disediakan akan tetapi perbaikannya, seperti AC dan lain-lain
dibiayai sendiri. Demikian Syamsul Rakan Chaniago.
Pernyataan tulus seorang Syamsul Rakan Chaniago tentu
saja mendapat sambutan dari para hakim yang merasa senasib. Ada yang menganggap
hal itu negatif bahwa pernyataan itu aib bagi hakim dan ada juga yang positif dengan
menyebutnya sebagai ”nurani demokrasi”.
Persoalan yang menyusul adalah bergulirnya rapat
rapat di Mahkamah Agung, dan rapat dengan
KY (Komisi Yudisial). Semuanya tidak menemui jalan keluar. Gejala lain yang muncul
adalah lahirnya putusan pengadilan bebas kasus korupsi di berbagai daerah secara susul menyusul.
Apakah ini reaksi para hakim? Faktanya putusan
bebas terjadi di Semarang, Bandung, Samarinda, Mataram, Ambon dan Jakarta. Ini
memanaskan situasi dengan puncaknya
keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membebaskan pelaku kasus korupsi, dalam kasasi dijatuhkan hukuman berat oleh
putusan MA. Yang kemudian disusul dengan pemilihan baru Ketua Mahkamah Agung
(MA).
Jika semua ini
didiskripsikan menjadi masalah, maka setidaknya masalah yang pantas dikaji itu
adalah posisi hakim kita. Mungkin bisa dilihat dari (1) dalam konteks gajinya.
dan kemudian (2) sejauh mana gaji mempengaruhi perilaku hakim.
Dalam konteks gaji ternyata
belum adil. Mengapa selama empat tahun belum ada kenaikan. Sementara PNS lain
naiknya setiap tahun. Bagaimana tunjangan jabatan, dalam faktanya nama pejabat negara
yang diletakkan pada Hakim Agung misalnya tidak diberikan. Padahal gaji tentu
berhubungan dengan dedikasi dan hak-haknya hakim (UU No 48 Tahun 2009).
Tidaklah pantas kerja yang dedikatif tanpa diiringi dengan hak-haknya
mendapatkan pendapatan yang diperlukan.
Sekarang tentang perilaku hakim. Ini silahkan dinilai
masyarakat dan KY. Adakah pengaruh gaji dan perilaku hakim. Ini bisa kita ibaratkan
seperti melihat masalah hulu dan hilir. Masalah hulu adalah gaji, masalah hilir
perilaku hakim. Jika di hulunya soal gaji. soal tugas pokok sudah ditetapkan
maka patokan dugaan asumsi perilaku hakim akan baik. Bisa saja tidak demikian. Tetapi
secara teori jika gajinya cukup, maka orang tidak mau berlaku curang, korupsi
dan sebagainya.
Adanya gejala hakim akan mogok ini persoalan serius.
Institusi negara ini akan bergoyang. Hukum di tangan hakim yang resah, miris
bisa berdampak kepastian hukum. Apalagi masalah dilihat menyeluruh, mengingat
berimpit dengan politik. Ada tersirat deparpolisasi dalam jajaran penegakan
hukum. Yang salah dan bertanggungjawab pada ahirnya adalah pemerintah juga.
*) Penulis Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr
Hamka Jakarta, tinggal di Depok Jawa Barat e-mail: masud_hmn@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar