Kamis, 12 April 2012

Jika Hakim Mogok Massal, Salah Siapa?


Oleh Mas ud HMN *)

Adanya rencana hakim akan melaksanakan pemogokan massal jika gaji hakim tidak dinaikkan, semakin ”mengamburadulkan” penegakan dan hukum di negara kita (31/32). Pertanyaannya (1) ada apa di balik ini semua, dan (2) jika hakim mogok massal, siapa yang salah?

Seperti yang dinyatakan oleh Ketua Komisi Yudisial, lembaga yang mengawasi perilaku para hakim, ia dapat memahami tuntutan para hakim tersebut yang sudah tidak mendapat kenaikan gaji sejak empat tahun belakangan ini. Karena itu, Ketua Komisi Yudisial Suparman meminta Presiden agar Menteri Keuangan membayarkan gaji kepada para hakim sesuai dengan peraturan Pegawai Negeri Sipil yang berlaku.

Memang sudah menjadi kenyataan, publik menyorot wajah para kakim kita, karena dalam pemutusan perkara ada hakim menerima suap. Tetapi di lain pihak gaji hakim  tidak ada penyesuaian seperti pegawai negeri lainnya. Gejala ini seolah-olah paradoks. Pertama muncul ke publik secara terbuka adalah pernyataan Hakim Agung Ad Hoc Tipikor Syamsul Rakan Chaniago dalam acara tvOne Indonesian Lawyer Club 3 Desember 2011.

Syamsul Rakan Chaniago menyatakan bahwa gajinya hanya Rp 18 juta tanpa ada  tambahan lain. Tugas pokoknya mulai hari Senin sampai Jumat sesuai jam kerja pegawai negeri sipil. Nama Hakim Agung sebagai pejabat negara tidak mendapat tunjangan apa-apa, rumah dinas memang disediakan akan tetapi perbaikannya, seperti AC dan lain-lain dibiayai sendiri. Demikian Syamsul Rakan Chaniago.

Pernyataan tulus seorang Syamsul Rakan Chaniago tentu saja mendapat sambutan dari para hakim yang merasa senasib. Ada yang menganggap hal itu negatif bahwa pernyataan itu aib bagi hakim dan ada juga yang positif dengan menyebutnya sebagai ”nurani demokrasi”.

Persoalan yang menyusul adalah bergulirnya rapat rapat di Mahkamah Agung, dan  rapat dengan KY (Komisi Yudisial). Semuanya tidak menemui jalan keluar. Gejala lain yang muncul adalah lahirnya putusan pengadilan bebas kasus korupsi di berbagai daerah  secara susul menyusul.

Apakah ini reaksi para hakim? Faktanya putusan bebas terjadi di Semarang, Bandung, Samarinda, Mataram, Ambon dan Jakarta. Ini memanaskan situasi dengan puncaknya  keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membebaskan pelaku kasus korupsi,  dalam kasasi dijatuhkan hukuman berat oleh putusan MA. Yang kemudian disusul dengan pemilihan baru Ketua Mahkamah Agung (MA).

Jika semua ini didiskripsikan menjadi masalah, maka setidaknya masalah yang pantas dikaji itu adalah posisi hakim kita. Mungkin bisa dilihat dari (1) dalam konteks gajinya. dan kemudian (2) sejauh mana gaji mempengaruhi perilaku hakim.

Dalam konteks gaji ternyata belum adil. Mengapa selama empat tahun belum ada kenaikan. Sementara PNS lain naiknya setiap tahun. Bagaimana tunjangan jabatan, dalam faktanya nama pejabat negara yang diletakkan pada Hakim Agung misalnya tidak diberikan. Padahal gaji tentu berhubungan dengan dedikasi dan hak-haknya hakim (UU No 48 Tahun 2009). Tidaklah pantas kerja yang dedikatif tanpa diiringi dengan hak-haknya mendapatkan pendapatan yang diperlukan.

Sekarang tentang perilaku hakim. Ini silahkan dinilai masyarakat dan KY. Adakah pengaruh gaji dan perilaku hakim. Ini bisa kita ibaratkan seperti melihat masalah hulu dan hilir. Masalah hulu adalah gaji, masalah hilir perilaku hakim. Jika di hulunya soal gaji. soal tugas pokok sudah ditetapkan maka patokan dugaan asumsi perilaku hakim akan baik. Bisa saja tidak demikian. Tetapi secara teori jika gajinya cukup, maka orang tidak mau berlaku curang, korupsi dan sebagainya.

Adanya gejala hakim akan mogok ini persoalan serius. Institusi negara ini akan bergoyang. Hukum di tangan hakim yang resah, miris bisa berdampak kepastian hukum. Apalagi masalah dilihat menyeluruh, mengingat berimpit dengan politik. Ada tersirat deparpolisasi dalam jajaran penegakan hukum. Yang salah dan bertanggungjawab pada ahirnya adalah pemerintah juga.

*) Penulis Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta, tinggal di Depok Jawa Barat e-mail: masud_hmn@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar