Senin, 10 Februari 2014

Oh, Irrasional

Oleh Mas ud HMN Ketua Pusat Kajian Peradaban Melayu Jakarta
Curah hujan tinggi datang dari langit. Kota Londonpun tidak terkecuali. Hari hari akhir Januari 2014 itu Ibu Kota Inggris Raya diserang banjir. Pangeran Charles datang menemui rakyatnya yang tertimnpa banjir. Pewaris Kerajan Inggris itu menyatakan bahwa ia tidak membawa bantuan. Tentu dimaklumi bahwa karena ia bukan Perdana Menteri. Yang mempunyai budget, anggaran dan sarana. Rakyat Inggris tahu.
Meski tanpa paket bantuan. Pangeran belia ini, hadir pertama kali ketika rakyat Inggris tertimpa bencana banjir. Masyarakat kota London memberinya apresiasi tinggi. Seorang di antara kerumunan massa, berucap kami tahu banjir adalah musibah. Kami tahu anda tidak dapat membantu kami. Yang kami perlukan Anda hadir di sini saat kami menderita.
Perasaan memang nuansa sontak, menyentakkan. Begitu rasa haru perasaan warga Inggris ini irrasioanl. Mereka menyalahkan Perdana Menterinya yang sibuk sepanjang hari. Sehingga alpa terhadap warga negaranya yang sedang ditimpa bencana. Mereka merasa Pangerannya yang peduli. Perdana Menterinya entah kemana. Barangkali lupa. Bisa juga memang tidak peduli. Sekali lagi, inilah perasaan. Bisa jadi irrasioanal.
Rasanya peristiwa ini adalah pelajaran. Ada rasional dan ada juga irrasional. Yang terakhir ini adalah simbol perasaan mewakili hati. Kita semua harus dapat menangkap nuansa rational dan nuansa hati tersebut.
Nah sekarang bagaimana di negeri kita. Jajaran elit, mulai Menteri dan politisi pada sibuk banyak agenda, banyak jadwal diskusi seminar, lokakarya dan entah apa lagi. Bisakah bersama dengan rakyat. Keperluan rakyat jadi rasa peduli. Perasaan rakyat jadi keprihatinannya.
Bagi calon pemimpin pada masa tahun politik ini nampaknya relevan. Dimana kita bediri mendekati dan memihak kepada rakyat. Dunia kita terbentuk dari dunia rasional otak dan  dimensi irrasioanl hati dan perasaan. Di mana kita berdiri, antara dua sisi dhuaafa dan si kaya.
Terkait dengan ini ada juga bagusnya ada yang sadar. Seperti John Wesley (1703-1791) menyatakan bahwa mencobakan metode rasional dalam keberagamaan sebagai senyap, gelap dan terang. Ternyata kata dia, yang terang ada cahaya hati di dalam kalbu selain rasional dalam otak,
Ada kesejalanan dengan kifrahnya kaum sufi. Karena ini pula yang dijadikan acuan kaum Sufiis  ketika rasio impreasip tidak berjalan mulus. Padahal, itu yang ditentang kaum rasional dalam  dalilnya bahwa yang pertama diturunkan Tuhan  terhadap realitas adalah akal.
Soalnya kemudian, di atas itu semua, sekali lagi ada pertanyaan dimana kita berdiri. Posisi apa yang harus kita jalankan. Kita memahami kebudayaan yang kita tegakkan memerlukan sentuhan hati. Berbentenglah di hati rakyat dan titilah kemenangan bersama kaum yang lemah.
Berbenteng di hati rakyat, ini bagaikan sumbu kepemimpinan (X) dalam menjalani langkah fungsi (Y) kedepan. Melukai atau melupakan rakyat bukan lah jalan yang benar, Yang benar bersama dengan rakyat.
Bersama rakyat identik bersama dengan kaum lemah atau kaum dhuafa. Berjuang bersama memberikan yang terbaik untuk mereka. Golongan inilah yang pemimpin yang salih.
Interpretasi paparan di atas, hubungan sumbu X dan Y, ibarat relasi yang seiring sejalan. Semakin baik fungsi tinggi kesalihan semakin tinggi pula nilai kepemimpinan. Sebaliknya semakin rendah kesalihan semakin rendah pula nilai kepemimpinan.
Yang jelas, upaya untuk mengantarkan rakyat berkemajuan merupajan tugas kita semua. Golongan yang rusak moralnya, tentu tidak mempunyai minat. Karena mereka hanya memerlukan mencdapai kepentingan sendiri, tidak peduli kepada yang lain.

Tetapi, bila berbenteng di hati rakyat dan berjuang bersama kaum dhuaafa adalah patriotic. Itulah jalan untuk kemenangan sejati. Insya Allah l

Tidak ada komentar:

Posting Komentar