Senin, 21 November 2011

Peningkatan Kualitas & Mutu Pendidikan Sangat Didambakan

Bandung Barat, Melayu Pos
Mutu pendidikan saat ini terasa masih rendah, terutama sekolah-sekolah yang ada di daerah. Namun bagi seluruh elemen masyarakat tetap bersabar menunggu perubahan, apalagi sekarang para guru diwajibkan memiliki gelar sekurang-kurangnya Sarjana Strata I (S-I) tentunya disesuaikan dengan kejuruannya yaitu  S.Pd  atau  S.Ag, termasuk menanti hasil sertifikasi, yang  akan membawa hasil positif dan dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang sangat didambakan.

Tetapi kenyataannya sampai detik ini, belum ada peningkatan yang signifikan, masih tetap merayap, bahkan boleh dikatakan kualitas dan kuantitasnya terlihat menurun. Pasalnya sejumlah guru yang mengajar di berbagai sekolah, khususnya SD//MI dan SLTP banyak yang memiliki gelar karbitan, mereka mengikuti kuliah di salasatu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) kelas jauh yang didirikan di berbagai tempat dan nompang di  gedung SD atau SLTP setempat, sebagaimana dikatakan beberapa sumber yang dihimpun Melayu Pos di Kabupaten Bandung Barat.

Menurutnya, untuk mendapatkan Ijazah Sarjana Strata I (S-I) ini cukup mengikuti kuliah kelas jauh antara satu hingga dua tahun saja, dengan kegiatan belajar hanya satu kali dalam seminggu.

Dengan adanya kegiatan kuliah kelas jauh/pokjar (kelompok belajar) yang diselenggarakan di berbagai tempat, tentu saja meresahkan masyarakat, karena bagi yang benar-benar kuliah di salasatu perguruan tinggi yang formal merasa dilecehkan. Sebab yang mereka rasakan menimba ilmu itu tidak gampang, selain harus memeras otak juga harus mengeluarkan biaya yang mahal, ujar beberapa sumber kepada Melayu Pos.

“Maka, dengan adanya kuliah kelas jauh kami sangat tidak setuju, itu namanya pelecehan. Masa kuliah satu atau dua tahun dengan belajar satu kali dalam seminggu dapat gelar sarjana Strata-I. Saya sendiri sudah tiga tahun belajar yang sesuai dengan jadwal untuk menyelesaikan beberapa SKS belum ada apa-apanya, apalagi ini hanya ditempuh dalam satu atau dua tahun dengan belajar satu kali dalam seminggu, mungkin hanya berapa SKS saja yang sempat dipelajarinya, mana mungkin dapat gelar sarjana (S-I)  itu mah jelas-jelas pembodohan dan pembunuhan karakter pada yang betul- betul kuliah,“ ujar salah seorang mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi yang sedang melakukan kuliah kerja nyata (KKN) di salah satu desa ketika diminta tanggapannya tentang kuliah kelas jauh (pokjar).

Namun keresahan tersebut agak reda, setelah dijawab dengan terbitnya SK.Dirjen Dikti Depdiknas Nomor; 2630/D/T/2000 tentang penyelenggaraan kelas jauh dan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Untuk program pendidikan jarak jauh pemerintah hanya mengakui universitas terbuka (UT) sebagai institusi resmi, sementara penyelenggaraan pendidikan kelas jauh perguruan tinggi lain tidak diperkenankan, apalagi sampai memberikan gelar kesarjanaan.

Sementara pihak Departemen Agama Republik Indonesia juga mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor : DJ.I/PP.00.9/1325 A/2007 tentang larangan kelas jauh, diterbitkan pada 27 Desember 2007. Yang isinya sama melarang adanya kelas jauh yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi negeri maupun swasta di seluruh Indonesia.

Namun meski SK Dikti dan Undang-Undang tersebut secara tegas mengatur sanksi hukuman serta denda bagi penyelenggara kelas jauh (pokjar) tetapi nyatanya pelanggaran pun tetap terjadi. Anehnya, belum ada oknum yang diadili atau ditindak secara hukum sehubungan dengan kasus tersebut. Sampai saat ini para penyelenggara kelas jauh masih ongkang-ongkang kaki menikmati hasil usahanya yang jelas-jelas melanggar Undang-undang Sisdiknas.

“Dengan adanya praktek seperti ini, bagi guru yang belum kebagian sertifikasi jangan khawatir ketinggalan, sebab di jaman yang canggih sekarang ini tidak ada yang susah, termasuk ingin memiliki ijazah, cukup menunggu satu semester saja dengan mengeluarkan uang sekian juta rupiah tanpa mengikuti kuliah pun dijamin akan mendapatkan ijazah (S-I). Sekali lagi tidak perlu khawatir menunggu gelombang sertifikasi,” ujar sumber yang tidak bersedia disebut jati dirinya dengan nada bercanda ketika bincang-bincang dengan Melayu Pos.

“Dulu gelar begitu sulit didapat, harus melalui proses yang serius dan komitmen belajar yang tinggi, sehingga gelar itu sangat bermakna dan bermartabat. Kini gelar dijadikan bisnis yang memiliki prosfek sangat bagus dan dalam waktu singkat orang bisa kaya. Dosen-Dosen super meraup keuntungan finansial tanpa harus susah-susah member mata kuliah. Begitu pula mahasiswa-mahasiswa super mampu menyandang gelar sarjana hanya dengan merogoh beberapa juta rupiah tanpa kuliah atau cukup dengan kuliah pada pokjar yang diselenggarakan PTS, seperti yang terjadi saat ini, tersebar di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Bandung Barat,” imbuhnya.

Sehubungan dengan itu, ketika Melayu Pos melakukan konfirmasi ke sejumlah pokjar yang ada di Kecamatan, Cihampelas, Cipongkor dan Sindangkerta, beberapa sumber yang dapat dipercaya membenarkan masih adanya kegiatan kelompok belajar yang diselenggarakan pihak PTS dari salasatu STAI, walaupun hanya sebatas pemadatan yang dilakukan sekali dalam seminggu, tutur sumber kepada Melayu Pos.

“Di tengah gencarnya tuntutan pendidikan murah dan mudah, fakta dosen super dan mahasiswa super ini seolah luput dari perhatian. Saya yakin hal ini banyak yang tahu, tapi mungkin kita masih menganut adat ketimuran, yaitu saling memaklumi. Sebab dalam hal ini antara pihak sama-sama membutuhkan materi alias fulus,” ujarnya

Disatu sisi kita berbicara ingin mencerdaskan bangsa, dengan sekuat tenaga berbagai pihak menyelenggarakan pendidikan mulai dari PAUD/TK, hingga perguruan tinggi. Apalagi pemerintah sekarang sudah memberikan kemudahan bagi siswa SD dan SLTP tidak diperkenankan untuk memungut biaya apapun alias gratis dengan tujuan untuk mencerdaskan bangsa.

Tetapi di sisi lain dengan adanya prilaku oknum seperti di atas yaitu adanya dosen super dan mahasiswa super, kenyataannya bukan mencerdaskan bangsa, tetapi sebaliknya adalah membodohkan bangsa, habis mau pinter atau cerdas bagaimana, kuliah pun hanya formalitas,  tahu-tahu memiliki ijazah, apakah itu bukan pembodohan? Yang jelas oknum tersebut kuliahnya di STIA atau di STAI (Sekolah Tidak Ijazah Ada) atau (Sekolah Tidak Ada Ijazah), katanya.

Kini masyarakat menjadi sangat bodoh, karena sertifikat dianggap lebih penting dari aktivitas belajar. Sebab yang belajar empat hingga lima tahun dengan mereka yang hanya menunggu di rumah dan melakukan aktivitas sekali dalam seminggu atau menunggu satu semester saja untuk mendapatkan ijazah, sama-sama mendapat legitimasi formal berupa selembar ijazah yang setara, maka status pendidikan mereka dianggap sama dan mempunyai kesempatan yang sama serta peluang mereka pun menjadi sama.

Bagi mereka yang merasa terbantu, tentunya akan menganggap ini sebagai santapan lezat. Padahal, oknum seperti ini hanya merupakan sampah atau limbah yang akan mengotori lautan pendidikan anak bangsa yang selama ini diharapkan untuk melanjutkan perjuangan dalam berbagai program pembangunan, untuk mencapai pembangunan manusia seutuhnya, tutur sumber.

Masalah ini jangan dianggap masalah sepele, mengabaikan masalah ini sama dengan mengabaikan nasib masa depan bangsa. Membiarkan masalah ini sama dengan mendukung upaya pembodohan dan merendahkan martabat dunia pendidikan.

Munculnya pemandangan seperti ini memang aneh, lebih aneh lagi kalau pihak yang berkompeten tidak bergerak untuk mengatasi masalah ini. Mudah-mudahan saja tidak sedang terjadi drama. Ada restu tersembunyi yang meringankan langkah para produsen sampah pendidikan itu. Sepertinya selama ini semua pihak sudah saling memaklumi, sehingga mulai dari pihak produsen ijazah, guru yang membeli Ijazah serta tim sertifikasi hingga birokrat pendidikan sama-sama saling memaklumi. Karena sekarang ini jaman modern yang penting adalah cepat mendapatkan uang.

Untuk itu mari kita berdoa  saja, semoga birokrasi pendidikan dalam keadaan sehat walafiat, sehingga mampu melihat kenyataan ini sebagai sesuatu yang sangat mengerikan dan sungguh merupakan ancaman serius bagi kemajuan bangsa.

Sementara itu birokrasi pendidikan saat ini ruhnya hampir hilang, terbukti dalam penyelenggaraan pendidikan sementara ini hanya sebatas pembelajaran, yaitu membaca, menulis dan berhitung (calistung) sedangkan pendidikan moral atau ahlak terlihat sangat minim (masih jauh panggang dari api) buktinya sebagian besar anak-anak sekarang sudah tidak tahu tata krama, baik kepada sesama maupun pada orang tua.

Maka dari itu, semua pihak diharapkan dapat segera merubah prilaku anak-anak kita, terutama para orang tua dan kalangan pendidik, jangan hanya memikirkan pembangunan fisik atau kuantitas yang kelihatannya gebyar, salah satu contoh yaitu bangunan sekolahnya mentereng, guru-gurunya mendapatkan gaji besar apalagi nagi yang telah menerima dana sertifikasi, kemudian siswanya berpakaian seragam bagus-bagus. Itulah salasatunya menjadi kebanggaan baik oleh masyarakat umum maupun kalangan pendidik.

Dalam kenyataannya akhlak dan moral anak berantakan, itu akibat ruhnya pendidikan sudah kurang berfungsi. Padahal kalau kita melihat kebelakang, para senior kita yang sekarang sudah menjadi pejabat, pengusaha dan tokoh-tokoh ulama, tidak mengalami duduk dibangku sekolah yang bagus khususnya di SD atau di SLTP, apalagi pakai seragam, di saat itu pakaian pun apa adanya. Tetapi akhlak dan moralnya sangat tinggi dan tangguh. Karena pada saat itu ruh pendidikan masih stabil, makanya tata krama dan sopan santun senior-senior kita sangat jauh berbeda dengan anak-anak sekarang. Sebagaimana dikatakan salaseorang pendidik yang kini memangku jabatan struktural di tingkat kecamatan, ketika bincang-bincang dengan Melayu Pos beberapa waktu lalu di kantornya.

Untuk menanggulangi hal tersebut, kami terus berupaya mengarahkan rekan-rekan guru untuk merubah prilaku yang negative ke arah yang positif. Dengan harapan kami dari kalangan pendidik dapat memperbaiki citra pendidikan dan menciptakan kembali ruh pendidikan yang seutuhnya.

Karena dalam hal ini, walaupun pemerinyah berupaya keras untuk mewujudkan pendidikan yang maksimal, diantaranya mengucurkan dana bantuan pendidikan yang nilainya begitu besar, mustahi akan terwujud kalau prilaku atau moral dan akhlaknya kaum pendidik masih bobrok. Sedangkan jabatan itu amanah yang harus dijalankan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini belum terwujud sebagaimana yang kita harapkan, ujarnya. Yat/H Deden

Tidak ada komentar:

Posting Komentar