Oleh Mas ud HMN
Ketua Pusat Kajian
Peradaban Melayu Jakarta
Isu perbatasan Indonesia-Malaysia diangkat lagi. Akhir Nopember lalu oleh
Gubernur Kalimantan Barat Cornelis yang posisi wilayahnya berbatasan dengan
Sabah Serawak menyatakan agar batas wilayah Indonesia itu ditinjau lagi (26
/11). Ia menganggap tidak sesuai dengan kepentingan Indonesia yang sudah
merdeka dan berdaulat. ”Kita tinjau ulang pengukuran batas Tanjung Datuk dan batas
Malaysia tersebut. Karena itu berdasaran pengukuran kolonial Belanda dan
Inggris,” kata Cornelis.
Pernyataan Cornelis dengan isu perbatasan tersebut selain kontraproduktif
dan kian meresahkan pemerintah mengingat
hal itu menjadi faktor benih pertentangan yang merengangkan hubungan Indonesia-Malaysia
yang telah ada. Sebab bagaimanapun
Indonesia harus menghormati dan mematuhi hukum dan agrement
internasional. Perbatasan Malaysia-Indonesia itu sudah lama diselesaikan oleh
kedua negara. Tetapi menjadi pertanyaan,
sebenarnya apa yang menjadi dasar isu atau tuntutan itu diangkat ke publik sekarang.
Kalau kita perhatikan dari sisi kajian, perbatasan masalahnya paling
tidak bisa dibagi atas dua hal. Pertama, terletak
dalam kepastian batas Indonesia. Sementara batas dengan Malaysia masalah kedua.
Persoalan perbatasan yang lebih berat adalah batas wilayah intern Indonesia sendiri. Yaitu antara kecamatan, kabupaten dan provinsi. Jika
batas dalam wilayah Indonesia sendiri
selesai, maka perbatasan dengan Malaysia itupun selesai juga.
Masalah kedua, isu perbatasan sebagai komoditi
politik pihak elit tertentu. Pada momentum tertentu misalnya pemilihan Gubernur
yang sudah semakin dekat. Yakni dijadwalkan Oktober nanti. Maka ada perlunya
untuk mengangkat masalah perbatasan. Biar dinilai serius dengan masalah kebangsaan
dan teritorial wilayah.
Karena itu dapat dimengerti mengapa seorang calon
kepala daerah Kalimantan Barat haruslah punya pandangan yang jelas membangun
daerah yang berbatasan dengan Malaysia. Pendek kata, isu perbatasan sebagai
bagian penting dari citra diri dalam rangka mencapai kedudukan atau posisi
Kalimantan Barat one.
Sebaliknya jika calon gubernur tidak punya
wawasan demikian, akan jatuh di mata masyarakat dan tidak memperoleh dukungan
rakyat. Wawasan demikian lazimnya diarahkan kepada calon yang berlatar belakang
militer. Sehingga keperluan untuk Gubernur Kalimantan Barat harus dari militer.
Tegasnya sosok militerlah yang dipandang cakap untuk kepala daerah kawasan
perbatasan seperti Kalimantan Barat tsb.
Serupa juga untuk tingkat pusat monuver
politik para elit juga disejalankna
kepentingan di tingkat nasional.
Misalnya, momentum resufel kabinet,
muncul tokoh yang mengkomoditikan masalah perbatasan untuk menjadi isu. Seolah-olah
hal itu begitu gentingnya, melebihi isu yang lain.
Masalah yang ketiga, memang masalah pilihan cara untuk
sistem pengukuran batas wilayah. Yaitu apakah dengan ukuran jarak atau dengan
ukuran kordinat. Pengukuran batas dengan ukuran jarak adalah konvensional
dengan cara pengukuran biasa, sangat berbeda dengan pengukuran kordinat titik
beradasarkan pantauan melalui satelit (udara).
Perbedaan ini sudah menjadi perdebatan yang
panjang dalam menenentukan cara menentukan titik batas wilayah. Meski demikian
cara yang sudah lazim dipakai oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah
menggunakan sistem ukur titik kordinat batas
wilayah (tanah). Dengan cara ini akurasi dan kemudahan dapat dicapai.
Karena efisien dalam kerja dan tepat (akurat) dalam hasil ukur.
Ketiga hal itulah hemat kami yang menjadi latar
belakang mengapa masalah perbatasan di Kalimantan Barat itu terangkat ke publik,
yaitu soal Pemilukada Kalimantan Barat yang
sudah dekat, kedua soal batas wilayah intern nasioanal Indonesia batas
kabupaten, kecamatan dan provinsi yang belum selesai, ketiga adalah cara
menentukan batas tersebut.
Di atas semua itu, yang penting harus dilihat adalah
isu perbatasan jika dibumbui dengan nasionalis sempit dengan membangun
kekeruhan pandangan bahwa Malaysia selalu menyulitkan Indonesia atau dengan
kata lain mencari bibit perpecahan antara dua negara Indonesia dan Malaysia.
Ini tentu tidak dikehendaki. Selain tidak strategis untuk kepentingan bersama
juga akan menjadi titik masuk bagi pihak ketiga untuk
melihat hubungan kedua negara menjadi
buruk sehingga Indonesia dan Malaysia menjadi renggang, dan Indonesia sangat
negatif untuk Malaysia.
Terkait pernyataaan Cornelis tentang ingin
mengukur ulang perbatasan itu harus dikembalikan kepada hukum yang berlaku. Bukankah
pemerintah kita sudah melakukan kesepakatan dengan Malaysia. Tentu dengan
segala pertimbangan. Marilah kita dukung kesepakatan yang telah ada.
Kita ingin menyatakan janganlah isu perbatasan
tidak proporsional dan mengungkit
persoalan yang tidak perlu. Persoalan lain masih banyak, keinginan
Cornelis untuk terpilih kembali menjadi Gubernur silahkan saja. Tetapi jika
penduduk setempat nanti ingin kepala daerah yang baru boleh juga.
Sekali lagi,
kepentingan kita adalah hidup bertentangga baik. Menghindari kontraversil
pandangan yang tidak tepat, tentang isu perbatasan Tanjung Daruk-Kalimantan
Barat. Isu itu nilainya kontra produktif dengan tujuan kita mencapai kestabilan,
kemajuan dan kesejahteran bangsa. Isu harus diganti dengan isu lain yang lebih
sesuai dan bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar