Selasa, 20 Desember 2011

Isu (Kontroversi) Perbatasan


Oleh Mas ud HMN
Ketua Pusat Kajian Peradaban Melayu Jakarta

Isu perbatasan Indonesia-Malaysia diangkat lagi. Akhir Nopember lalu oleh Gubernur Kalimantan Barat Cornelis yang posisi wilayahnya berbatasan dengan Sabah Serawak menyatakan agar batas wilayah Indonesia itu ditinjau lagi (26 /11). Ia menganggap tidak sesuai dengan kepentingan Indonesia yang sudah merdeka dan berdaulat. ”Kita tinjau ulang pengukuran batas Tanjung Datuk dan batas Malaysia tersebut. Karena itu berdasaran pengukuran kolonial Belanda dan Inggris,” kata Cornelis.

Pernyataan Cornelis dengan isu perbatasan tersebut selain kontraproduktif dan kian  meresahkan pemerintah mengingat hal itu menjadi faktor benih pertentangan yang merengangkan hubungan Indonesia-Malaysia yang telah ada. Sebab bagaimanapun  Indonesia harus menghormati dan mematuhi hukum dan agrement internasional. Perbatasan Malaysia-Indonesia itu sudah lama diselesaikan oleh kedua negara. Tetapi  menjadi pertanyaan, sebenarnya apa yang menjadi dasar isu atau tuntutan itu diangkat ke publik sekarang.

Kalau kita perhatikan dari sisi kajian, perbatasan masalahnya paling tidak bisa dibagi atas  dua hal. Pertama, terletak dalam kepastian batas Indonesia. Sementara batas dengan Malaysia masalah kedua. Persoalan perbatasan yang lebih berat adalah batas wilayah intern  Indonesia sendiri. Yaitu antara  kecamatan, kabupaten dan provinsi. Jika batas  dalam wilayah Indonesia sendiri selesai, maka perbatasan dengan Malaysia itupun selesai juga.

Masalah kedua, isu perbatasan sebagai komoditi politik pihak elit tertentu. Pada momentum tertentu misalnya pemilihan Gubernur yang sudah semakin dekat. Yakni dijadwalkan Oktober nanti. Maka ada perlunya untuk mengangkat masalah perbatasan. Biar dinilai serius dengan masalah kebangsaan dan teritorial wilayah.

Karena itu dapat dimengerti mengapa seorang calon kepala daerah Kalimantan Barat haruslah punya pandangan yang jelas membangun daerah yang berbatasan dengan Malaysia. Pendek kata, isu perbatasan sebagai bagian penting dari citra diri dalam rangka mencapai kedudukan atau posisi Kalimantan Barat one.

Sebaliknya jika calon gubernur tidak punya wawasan demikian, akan jatuh di mata masyarakat dan tidak memperoleh dukungan rakyat. Wawasan demikian lazimnya diarahkan kepada calon yang berlatar belakang militer. Sehingga keperluan untuk Gubernur Kalimantan Barat harus dari militer. Tegasnya sosok militerlah yang dipandang cakap untuk kepala daerah kawasan perbatasan seperti Kalimantan Barat tsb.

Serupa juga untuk tingkat pusat monuver politik  para elit juga disejalankna kepentingan  di tingkat nasional. Misalnya, momentum  resufel kabinet, muncul  tokoh yang  mengkomoditikan  masalah perbatasan untuk menjadi isu. Seolah-olah hal itu begitu gentingnya, melebihi isu yang lain.

Masalah yang ketiga, memang masalah pilihan cara untuk sistem pengukuran batas wilayah. Yaitu apakah dengan ukuran jarak atau dengan ukuran kordinat. Pengukuran batas dengan ukuran jarak adalah konvensional dengan cara pengukuran biasa, sangat berbeda dengan pengukuran kordinat titik beradasarkan pantauan melalui satelit (udara).

Perbedaan ini sudah menjadi perdebatan yang panjang dalam menenentukan cara menentukan titik batas wilayah. Meski demikian cara yang sudah lazim dipakai oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah menggunakan sistem ukur titik kordinat batas  wilayah (tanah). Dengan cara ini akurasi dan kemudahan dapat dicapai. Karena efisien dalam kerja dan tepat (akurat) dalam hasil ukur.

Ketiga hal itulah hemat kami yang menjadi latar belakang mengapa masalah perbatasan di Kalimantan Barat itu terangkat ke publik, yaitu soal Pemilukada Kalimantan Barat yang  sudah dekat, kedua soal batas wilayah intern nasioanal Indonesia batas kabupaten, kecamatan dan provinsi yang belum selesai, ketiga adalah cara menentukan batas tersebut.

Di atas semua itu, yang penting harus dilihat adalah isu perbatasan jika dibumbui dengan nasionalis sempit dengan membangun kekeruhan pandangan bahwa Malaysia selalu menyulitkan Indonesia atau dengan kata lain mencari bibit perpecahan antara dua negara Indonesia dan Malaysia. Ini tentu tidak dikehendaki. Selain tidak strategis untuk kepentingan bersama juga  akan menjadi  titik masuk bagi pihak ketiga untuk melihat  hubungan kedua negara menjadi buruk sehingga Indonesia dan Malaysia menjadi renggang, dan Indonesia sangat negatif untuk Malaysia.           

Terkait pernyataaan Cornelis tentang ingin mengukur ulang perbatasan itu harus dikembalikan kepada hukum yang berlaku. Bukankah pemerintah kita sudah melakukan kesepakatan dengan Malaysia. Tentu dengan segala pertimbangan. Marilah kita dukung kesepakatan yang telah ada.

Kita ingin menyatakan janganlah isu perbatasan tidak proporsional dan mengungkit  persoalan yang tidak perlu. Persoalan lain masih banyak, keinginan Cornelis untuk terpilih kembali menjadi Gubernur silahkan saja. Tetapi jika penduduk setempat nanti ingin kepala daerah yang baru boleh juga.

Sekali lagi, kepentingan kita adalah hidup bertentangga baik. Menghindari kontraversil pandangan yang tidak tepat, tentang isu perbatasan Tanjung Daruk-Kalimantan Barat. Isu itu nilainya kontra produktif dengan tujuan kita mencapai kestabilan, kemajuan dan kesejahteran bangsa. Isu harus diganti dengan isu lain yang lebih sesuai dan bermanfaat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar