Oleh Mas ud HMN Ketua Pusat Kajian Peradaban Melayu jakarta
Kanann nasu umtan wahidah. (Pepatah Arab)
Kehidupan manusia dan masyarakat
merupakan satu kesatuan.
KEHIDUPAN manusia
adalah kehidupan masyarakat. Demikian disampaikan Ki Bagus Hadikusuomo pada tanggal
31 Mei 1945, dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia telah
dihimpun. Kata-kata tersebut tersimpan dalam dokumen negara berkaitaan dengan dokumen
proklamasi.
Ucapan masyarakat di situ
bermakna masyarakat yang berbasiskan pandangan keagamaan. Ki Bagus Hadikusumo
mempunyai pandangan yang menghubungkan manusia dalam artian negara di satu pihak dan agama di pihak lain. Dari
pidatonya sepanjang 16 halaman terungkap intinya bahwa negara haruslah jelas
dalam menenetukan dasar negara. Berdasar agama atau tidak bersandarkan agama.
Arah dari kata Ki Bagus
Hadikoesumo itu nampak sejalan dengan pepatah Arab yang kita kutip di atas. Kanann
nassu umatan wahidah. Yaitu kanann (manusia) adalah satu kesatuan (umatan
wahidah). Manusia sebagai warga dan umatan wahidah sebagai negara.
Implikasi ucapan Ki
Bagoes Hadikusumo semakin terasa. Dari negara tidak berdasarkan agama tetapi negara bukan sekuler. Banyak kontroversi
yang muncul karena bukan negara sekuler. Dan bukan pula agama terpisah dari negara.
Historis bangsa kita adalah
bangsa yang relegius. Pengalaman bangsa kita juga telah menunjukkan bagaimana agama
memperoleh lahan subur untuk berkembang. Selama ini tidak ada catatan sejarah buruk
kita. Apa yang kita khawatirkan tentang peran agama di negeri ini.
Tidak demikian keadaan
di Negara Eropah dan Amerika. Mereka menerapkan sekulerisasi. Barat Eropah dan
Amerika memiliki sejarah agama dan negara yang sangat berbeda dengan kita
Indonesia. Amerika merupakan negeri tempat pelarian mereka dari Eropah yang
mengalami kisah getir tentang kekuasaan otoritas
agama dalam Negara.
Oleh karena itu, dapat
dipahami garis Amerika dan Eropah sangat pro sekuler. Mereka tidak mau
mengulang sejarah kelam yang mereka alami. Agama harus terpisah dari Negara. Pandangan
sekuler di Amerika tidak bisa dilepaskan dalam pengalaman mereka dalam agama.
Itulah sekulerisasi Negara.
Terhadap bangsa
Indonesia perjalanan historis bangsa Eropah dan Amerika itulah pebedaannya.
Kita punya pengalaman yang baik dalam hubungan beragama, entah Hindu, Budha dan
Islam serta Kristen. Semua mendapatkan tempat dalam sejarah Indonesia dalam
mengatur Negara dan kekuasaan.
Artinya, kita tidak
mungkin menerapkan sekulersasi –satu faham memisahkan agama dan urusan Negara di
negeri ini. Sejarah dan pengalaman kita telah terbentuk. Setiap agama
menyumbang secara fungsional untuk negara, bangsa dan kemanusiaan.
Konsep agama dan negara
dalam Islam inilah yang disinyalkan oleh Ki Bagoes Hadiukusumo bahwa kehidupan
manusia itu adalah masyarakat. Ia memandang manusia ini dalam setting
kebangsaan dan kemanusiaan.
Agaknya apa yang
dikatakan Ki Bagoes Hadikusmo sejalan dengan yang diperlukan oleh bangsa kita. Tidak
mungkin kebangsaan yang kita laksanakan mengenyapingkan kemanusiaan. Menurut Syafii Maarif perjuangan bangsa kedepan adalah
perjuangan kemanuisaan. “Diperlukan pahlawan kemanuisaan,” tulisnya (Republika 9/8).
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
itu mendasarkan perjuangan kemanusiaan itu dengan pandangan keagamaan. Ia mengutip ajaran KH Ahmad Dahlan
dengan surat Al Maun. Yaitu menegakkan agama itu dengan mengentaskan kemiskinan
dan memelihara yatim. Ia kemudian
menyebutnya dengan Teologi Al Maun.
Dalam contra meaning
melaksanakan dan menegakkan agama adalah mendustakan agama. Jika saja orang
tidak melaksanakan ayat pengentasan kemiskinan dan memelihara anak yatim identik
dengan mendustakan agama. Dalam pandangan demikian, Islam sangat memerlukan
pahlawan kemanusiaan. Demikian Syafii Maarif.
Dari paparan di atas,
petanyaannya adalah bagaimana melaksanakan setting kemanusiaan itu dalam
kehidupan bangsa kedepan.
Agaknya ada beberapa poin
yang relevan untuk dijadikan jawaban terhadap persoalan tersebut.
Pertama,
menyadarkan elit bangsa agar melakukan ekstra support terhadap ekonomi rakyat. Komitmen
itu harus kita kawal bersama. Tidak lagi memerlukan elit yang mencari keuntungan
untuk diri sendiri tetapi mengabaikan orang miskin.
Kedua,
kesadaran transdental yaitu berasal dari ajaran agama. Manusia adalah bagian
masyarakat. Sebagai makhluk manusia harus memberi, menyumbang, berkontribusi
kepada masyrakat dan kemanusiaan. Ini adalah untuk semua. Seberapapun sumbangan
tersebut.
Ketiga,
memahami sejarah dengan pemahaman yang benar. Kita sebagai bangsa, walaupun sudah
68 tahun merdeka, kita masih dalam proses menuju kesempurnaan. Kita memerlukan
kepiawaian, memerlukan kecerdasan dalam proses kita berbangsa. Kita harus mampu
memilih mana yang benar dan sesuai dengan keperluan kita sebagai bangsa.
Kecerdasan dan kepiawaan serta kearifan
dibutuhkan oleh perjalanan bangsa kita kedepan. Itu adalah tuntutan sejarah.
Oleh karena itu kita memerlukan pahlawan pembuat sejarah.
Akhirnya ungkapan Ki
Bagoes Hadikusumo, kita temukan bentuknya. Kemanusiaan adalah adalah masyarakat
itu sendiri. Pemikir dan intelektual mestilah memperkokoh pemahaman sejarah yang
benar itu. Yaitu sejarah yang memperkuat kita sebagai bangsa, sejarah yang menimbulkan sikap mandiri (izzah). Juga sikap
yang mau berjuang mencapai kebahagiaan
Saiidan (happiness).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar