Minggu, 25 Agustus 2013

Tigasatu Mei 1945

Oleh Mas ud HMN Ketua Pusat Kajian Peradaban Melayu jakarta
Kanann nasu umtan wahidah. (Pepatah Arab)
Kehidupan manusia dan masyarakat merupakan satu kesatuan.
KEHIDUPAN manusia adalah kehidupan masyarakat. Demikian disampaikan Ki Bagus Hadikusuomo pada tanggal 31 Mei 1945, dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia telah dihimpun. Kata-kata tersebut tersimpan dalam dokumen negara berkaitaan dengan dokumen proklamasi.
Ucapan masyarakat di situ bermakna masyarakat yang berbasiskan pandangan keagamaan. Ki Bagus Hadikusumo mempunyai pandangan yang menghubungkan manusia dalam artian negara  di satu pihak dan agama di pihak lain. Dari pidatonya sepanjang 16 halaman terungkap intinya bahwa negara haruslah jelas dalam menenetukan dasar negara. Berdasar agama atau tidak bersandarkan agama.
Arah dari kata Ki Bagus Hadikoesumo itu nampak sejalan dengan pepatah Arab yang kita kutip di atas. Kanann nassu umatan wahidah. Yaitu kanann (manusia) adalah satu kesatuan (umatan wahidah). Manusia sebagai warga dan umatan wahidah sebagai negara.
Implikasi ucapan Ki Bagoes Hadikusumo semakin terasa. Dari negara tidak berdasarkan agama  tetapi negara bukan sekuler. Banyak kontroversi yang muncul karena bukan negara sekuler. Dan bukan pula agama terpisah dari negara.
Historis bangsa kita adalah bangsa yang relegius. Pengalaman bangsa kita juga telah menunjukkan bagaimana agama memperoleh lahan subur untuk berkembang. Selama ini tidak ada catatan sejarah buruk kita. Apa yang kita khawatirkan tentang peran agama di negeri ini.
Tidak demikian keadaan di Negara Eropah dan Amerika. Mereka menerapkan sekulerisasi. Barat Eropah dan Amerika memiliki sejarah agama dan negara yang sangat berbeda dengan kita Indonesia. Amerika merupakan negeri tempat pelarian mereka dari Eropah yang mengalami  kisah getir tentang kekuasaan otoritas agama dalam Negara.
Oleh karena itu, dapat dipahami garis Amerika dan Eropah sangat pro sekuler. Mereka tidak mau mengulang sejarah kelam yang mereka alami. Agama harus terpisah dari Negara. Pandangan sekuler di Amerika tidak bisa dilepaskan dalam pengalaman mereka dalam agama. Itulah sekulerisasi Negara.
Terhadap bangsa Indonesia perjalanan historis bangsa Eropah dan Amerika itulah pebedaannya. Kita punya pengalaman yang baik dalam hubungan beragama, entah Hindu, Budha dan Islam serta Kristen. Semua mendapatkan tempat dalam sejarah Indonesia dalam mengatur Negara dan kekuasaan.
Artinya, kita tidak mungkin menerapkan sekulersasi –satu faham memisahkan agama dan urusan Negara di negeri ini. Sejarah dan pengalaman kita telah terbentuk. Setiap agama menyumbang secara fungsional untuk negara, bangsa dan kemanusiaan.
Konsep agama dan negara dalam Islam inilah yang disinyalkan oleh Ki Bagoes Hadiukusumo bahwa kehidupan manusia itu adalah masyarakat. Ia memandang manusia ini dalam setting kebangsaan dan kemanusiaan.
Agaknya apa yang dikatakan Ki Bagoes Hadikusmo sejalan dengan yang diperlukan oleh bangsa kita. Tidak mungkin kebangsaan yang kita laksanakan mengenyapingkan kemanusiaan. Menurut  Syafii Maarif perjuangan bangsa kedepan adalah perjuangan kemanuisaan. “Diperlukan pahlawan kemanuisaan,” tulisnya (Republika 9/8).
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu mendasarkan perjuangan kemanusiaan itu dengan  pandangan  keagamaan. Ia mengutip ajaran KH Ahmad Dahlan dengan surat Al Maun. Yaitu menegakkan agama itu dengan mengentaskan kemiskinan dan memelihara yatim. Ia kemudian  menyebutnya dengan Teologi Al Maun.
Dalam contra meaning melaksanakan dan menegakkan agama adalah mendustakan agama. Jika saja orang tidak melaksanakan ayat pengentasan kemiskinan dan memelihara anak yatim identik dengan mendustakan agama. Dalam pandangan demikian, Islam sangat memerlukan pahlawan kemanusiaan. Demikian Syafii Maarif.
Dari paparan di atas, petanyaannya adalah bagaimana melaksanakan setting kemanusiaan itu dalam kehidupan bangsa kedepan.
Agaknya ada beberapa poin yang relevan untuk dijadikan jawaban terhadap persoalan tersebut.
Pertama, menyadarkan elit bangsa agar melakukan ekstra support terhadap ekonomi rakyat. Komitmen itu harus kita kawal bersama. Tidak lagi memerlukan elit yang mencari keuntungan untuk diri sendiri tetapi mengabaikan orang miskin.  
Kedua, kesadaran transdental yaitu berasal dari ajaran agama. Manusia adalah bagian masyarakat. Sebagai makhluk manusia harus memberi, menyumbang, berkontribusi kepada masyrakat dan kemanusiaan. Ini adalah untuk semua. Seberapapun sumbangan tersebut.
Ketiga, memahami sejarah dengan pemahaman yang benar. Kita sebagai bangsa, walaupun sudah 68 tahun merdeka, kita masih dalam proses menuju kesempurnaan. Kita memerlukan kepiawaian, memerlukan kecerdasan dalam proses kita berbangsa. Kita harus mampu memilih mana yang benar dan sesuai dengan keperluan kita sebagai bangsa. Kecerdasan dan kepiawaan  serta kearifan dibutuhkan oleh perjalanan bangsa kita kedepan. Itu adalah tuntutan sejarah. Oleh karena itu kita memerlukan pahlawan pembuat sejarah.
Akhirnya ungkapan Ki Bagoes Hadikusumo, kita temukan bentuknya. Kemanusiaan adalah adalah masyarakat itu sendiri. Pemikir dan intelektual mestilah memperkokoh pemahaman sejarah yang benar itu. Yaitu sejarah yang memperkuat kita sebagai bangsa, sejarah yang  menimbulkan sikap mandiri (izzah). Juga sikap yang mau berjuang mencapai kebahagiaan  Saiidan (happiness). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar